Dilansir dari laman kratonjogja.id, nama Kiai Janadaru berasal dari kata jana yang berarti manusia dan daru yang berarti cahaya.
Sehingga, nama pohon beringin Kiai Janadaru dapat diartikan sebagai cahaya kemanusiaan.
Sementara di laman Kemendikbud disebutkan bahwa Kiai Janadaru melambangkan persatuan antara Sultan dan rakyat.
Dari maknanya, tidak heran jika posisi pohon beringin Kiai Janadaru berada di sebelah timur sumbu filosofi atau di sisi yang sama dengan lokasi Pasar Gedhe (Pasar Beringharjo) yang berfungsi sebagai pusat ekonomi.
Konon, bibit Kiai Janadaru berasal dari Pajajaran dan pernah terbakar dan ditanam kembali karena tersambar petir pada tahun 1961.
Sebelumnya, pohon beringin Kiai Janadaru juga pernah diganti pada tahun 1926, di mana peristiwa ini dikisahkan cukup terperinci pada Serat Salokapatra.
Pohon beringin Kiai Janadaru yang saat itu sudah sakit selama sekitar dua tahun akhirnya roboh. Seluruh bagian pohon tersebut kemudian dikuburkan tidak jauh dari tempat semula.
Kiai Janadaru kemudian digantikan dengan bibit baru yang berasal dari cangkokannya sendiri yang ditanam kembali di tempatnya dahulu tumbuh.
Penanaman bibit tersebut dilakukan dalam sebuah upacara yang dipimpin oleh Patih Danureja VII dan diiringi doa-doa oleh Abdi Dalem Punokawan Kaji.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, pohon beringin (Ficus Benjamina) disebut sebagai pohon hayat karena dipandang sebagai pohon yang memberikan kehidupan dan juga memberikan pengayoman serta perlindungan kepada manusia,.
Wujud pohon beringin yang besar dan rimbun seperti pohon juga dianggap menimbulkan rasa gentar dan hormat.
Sejak masa Kerajaan Mataram Islam yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogyakarta, pohon beringin diperlakukan sebagai barang yang diangkut pada proses perpindahan keraton Mataram untuk kemudian ditanam kembali di ibu kota yang baru.
Pohon beringin juga memiliki posisi istimewa bagi Kesultanan Yogyakarta, di mana sebagai tanaman kerajaan, pohon beringin yang besar dan rimbun melambangkan pengayoman raja kepada rakyatnya.
Pohon beringin juga dianggap memiliki sifat-sifat yang dihubungkan dengan kebesaran Keraton Yogyakarta.
Ukuran pohon yang besar, tumbuh di segala musim, berumur panjang, dan akar-akarnya dalam dan kuat mencengkram tanah, memiliki kemampuan mengikat air dengan baik.
Daun-daun pohon beringin kecil rimbun memberi keteduhan dan pasokan oksigen dalam jumlah besar, memberi rasa aman bagi yang berteduh di bawahnya.
Bahkan, masyarakat Jawa masa lalu mengenal istilah "neres ringin kurung" yang secara harfiah berarti "menguliti kulit pohon beringin kurung". Istilah tersebut dimaknai sebagai sikap memberontak terhadap kekuasaan raja.
Sumber:
kratonjogja.id
kratonjogja.id
kebudayaan.kemdikbud.go.id
pariwisata.jogjakota.go.id