Dalam rombongan ledhek tersebut, Putri Pembayun menjadi penari tayub, sementara saudaranya bertugas menjadi penabuh gamelan.
Ki Ageng Mangir yang terkenal menjadi penggemar ledhek pun jatuh hati dengan sosok penari yang cantik dan kemudian memutuskan untuk menikahinya.
Pernikahan Ki Ageng Mangir dan Putri Pembayun berjalan dengan bahagia, hingga akhirnya sang istri pun hamil.
Namun di tengah kehamilannya, Putri Pembayun merasa gusar karena menyembunyikan sesuatu dari suaminya.
Pada akhirnya, Putri Pembayun memberanikan diri untuk mengungkap jati dirinya kepada Ki Ageng Mangir.
Ki Ageng Mangir yang mengetahui hal tersebut sangat marah karena telah masuk dalam tipu daya Panembahan Senopati.
Namun dengan kesabaran dan cinta Putri Pembayun, Ki Ageng Mangir akhirnya menuruti bujukan untuk menghadap kepada mertuanya.
Demi cinta kepada istri dan calon bayinya, Ki Ageng Mangir kemudian berangkat ke Mataram.
Ia disambut dengan tarub yang dipasang rendah, dengan tujuan agar Ki Ageng Mangir tidak dapat membawa masuk tombak Baru Klinthing.
Sesampai di dalam, Putri Pembayun dan Ki Ageng Mangir kemudian hendak menghaturkan sujud sungkem kepada Panembahan Senopati.
Namun saat Ki Ageng Mangir sedang menghaturkan sujud sungkem, Panembahan Senopati malah membenturkan kepala sang menantu ke batu duduknya yang disebut Watu Gilang.
Ki Ageng Mangir pun tewas seketika, sementara Putri Pembayun menangis sejadi-jadinya melihat nasib suami yang dicintainya.
Jasad Ki Ageng Mangir kemudian dimakamkan di kompleks Makam Raja-raja Mataram Islam di Kotagede namun dengan cara yang tidak biasa.
Makam Ki Ageng Mangir yang menjadi menantu sekaligus musuh Panembahan Senopati separuh berada di dalam tembok kawasan makam, dan separuhnya lagi berada di luar.
Sumber: dpad.jogjaprov.go.id dan budaya.jogjaprov.go.id
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.