Beberapa sumber menyebut bahwa permukaan Alun-alun Utara pada masa lalu tidak ditumbuhi rumput, melainkan ditutupi dengan lapisan pasir halus.
Alun-alun ini dikelilingi oleh pagar batu bata dan selokan di mana airnya dapat digunakan untuk menggenangi tanah lapang tersebut saat dibutuhkan.
Sebagai bagian dari wilayah keraton, Alun-alun Utara juga menjadi sebuah wilayah sakral dimana tidak sembarang orang diperkenankan untuk memasukinya.
Untuk masuk ke Alun-alun Utara Yogyakarta, seseorang harus memperhatikan aturan-aturan yang wajib dipatuhi.
Aturan tersebut seperti tidak boleh menggunakan kendaraan, tidak boleh mengenakan alas kaki (sepatu atau sandal) tidak boleh bertongkat, dan tidak boleh mengembangkan payung.
Hal ini dilakukan sebagai wujud penghormatan kepada Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono.
Alun-alun utara Yogyakarta diketahui telah mengalami pergeseran fungsi dari waktu ke waktu.
Pada masa lalu, tanah lapang ini menjadi tempat latihan para prajurit untuk unjuk kehebatan di hadapan sultan dan para pembesar kerajaan yang menyaksikan dari Siti Hinggil.
Selain itu, Alun-alun Utara Yogyakarta juga menjadi tempat tapa pepe yaitu bentuk unjuk diri dari rakyat agar pendapat atau permintaannya didengar dan mendapat perhatian dari sultan.
Tapa pepe atau laku pepe adalah aksi duduk berdiam diri pada siang hari terik (pepe) di antara kedua pohon beringin oleh seseorang yang hendak memohon keadilan langsung kepada sultan.
Seiring berjalannya waktu, Alun-alun Utara Yogyakarta yang mulanya disakralkan sempat berubah menjadi ruang publik yang bebas dimanfaatkan oleh masyarakat.
Alun-alun utara Yogyakarta sempat dimanfaatkan sebagai lokasi parkir wisata, tempat rekreasi masyarakat, bahkan tempat menghelat panggung hiburan, dan pasar rakyat sekaten.
Menyusul pemasangan pagar pada tahun 2020, pada tahun 2022 Keraton Yogyakarta kembali melakukan revitalisasi Alun-alun Utara Yogyakarta dengan menutup permukaannya dengan pasir.
Dilansir dari laman kratonjogja.id, alasan Alun-alun Utara ditutup dengan pasir lembut yang bermakna penggambaran laut tak berpantai sebagai perwujudan dari Tuhan yang Maha Tidak Terhingga.
Secara keseluruhan makna alun-alun beserta kedua pohon beringin di tengahnya menggambarkan konsepsi manunggaling kawula Gusti.