KULON PROGO, KOMPAS.com – Sudarto (65) dan keluarga besarnya sebelumnya terdampak pembangunan Bandar Udara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kapanewon Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Mereka mesti merelakan peninggalan orangtua di Pedukuhan Seling, berupa 3.000-an meter persegi sawah, 3.000-an meter persegi pekarangan dan rumah.
Kemudian mereka keluar dari Pedukuhan Seling dan pindah ke rumah relokasi di 2017. Sudarto kemudian membeli tanah pekarangan kakaknya di Weton untuk tempat tinggal sejak 2018. Ia tinggal bersama istri, anak dan cucu-cucunya yang berjumlah enam orang.
Ia memulai penghidupan baru dengan membuka toko kelontong.
“Warung di desa itu satu hari ada yang beli 10 orang saja sudah bagus,” kata Sudarto di ujung telepon.
Baca juga: Soal Suparwi yang Belum Dapat Ganti Rugi Tol Semarang-Demak, Ganjar: Kita Uruskan
Pada usia senja ini, Sudarto kembali terusik oleh pembangunan skala nasional. Kali ini oleh rencana pembangunan jalan tol Solo-Yogyakarta-Bandara YIA yang melintas Kebonrejo. Rumah tinggalnya sekarang tercatat sebagai salah satu yang terdampak pembangunan tol.
Sejatinya hati kecilnya menolak. Namun, ia tidak mungkin bersikeras lantaran pembangunan itu berlatar kepentingan nasional.
“Karena kepentingan negara, memang harus mendukung. Apalagi yang bisa diperbuat,” kata Sudarto.
Hal ini membuat Sudarto berpikir keras. Ia mengaku cukup lelah bila kembali harus pindah rumah di usia senja.
Belum pindah saja, mantan lurah Kebonrejo ini sudah dibayangi sulitnya memiliki rumah dengan harga terjangkau di Temon. Pasalnya, harga properti menjadi sangat tinggi sejak kehadirangan YIA.
Harga bisa saja naik cepat menjelang ganti rugi pembangunan tol. Ia menemukan pola serupa di masa ganti rugi tanah untuk bandara pada masa lalu.
Sudarto pun memilih mencari tempat tinggal baru lebih awal. Ia berharap tetap tinggal di Kebonrejo karena kedekatan emosional warga yang sudah terjalin kuat.
“Pengalaman proyek bandara itu, mendekati (ganti rugi nanti) itu tanah minta ampun langsung naik. Mumpung situasi kondusif, tidak tinggi sekali. Makanya saya sudah ancang-ancang mencari meski penawarannya tetap terasa tinggi,” katanya.
“Saya tidak bisa tidur tiap malam, untuk mencari tempat tinggal terutama. Harga sudah satu (juta) paling rendah di daerah yang dalam sana,” kata Sudarto.
Menurutnya, pengorbanan warga sudah sangat besar di pembangunan bandara. Ia berharap warga tidak merasa sengsara lagi di proyek-proyek selanjutnya.