Pangat yang sehari-hari bekerja sebagai petani kopi ini saat malam tidur di lantai mushala. Terkadang, jika di sebuah kota memiliki kerabat, ia mampir untuk beristirahat sejenak.
"Kalau tidur kadang-kadang ya ada di mushala, kadang ada saudara yang di Kertosono itu sempat singgah numpang istirahat sambil mandi-mandi. Lalu jalan lagi," kata dia.
Tak banyak bekal yang dibawa olehnya, bekal makanan dan minuman ia perkirakan hanya bisa sampai di Yogyakarta.
Baca juga: Nama Kampung di Yogyakarta yang Berasal dari Nama Dalem Pangeran dan Bangsawan Keraton
Setelahnya ia hanya bisa berharap bantuan dari warga atau rekan-rekannya.
"Saya keluar dari rumah ya bawalah bekal untuk persiapan ya kayak makan, minum memang saya bekal cuma enggak banyak. Cukup untuk di Yogya saja," ujar dia.
Jika perjalanan lancar tak ada halangan, ia menargetkan sampai di Ibu Kota 6 hari ke depan.
"Mungkin kalau tidak ada halangan hujan, kita kaki enggak sakit, mungkin 6 hari lagi sudah sampai Jakarta," ujar dia.
Pangat berharap saat sampai di Jakarta ia bisa bertemu dengan presiden dan menyampaikan aspirasinya langsung dan dapat ditindaklanjuti.
Salah satu rekannya, Nurkholik yang juga Ketua Paguyuban Peduli Semeru mengatakan, tanggul dibangun melintang sepanjang sungai dengan tinggi yang sama dengan tanggul pengaman.
"Jadi kalau ini (aliran sungai) tidak kuat menahan ini akan jebol ke pemukiman. Melintang menutup aliran sungai. Tujuan untuk memudahkan mereka ambil pasir dan juga agar tidak bercampur dengan batu-batu besar pasirnya itu. Tingginya kisaran 4 sampai 5 meter," ujar dia.
Akibatnya, saat Gunung Semeru Erupsi aliran lahar dingin tidak dapat mengalir ke sungai justru meluber ke pemukiman warga.
"Saat erupsi itu aliran lava itu tidak mengalir di sungai jadi lava itu lebih memilih meluber ke samping dan menimbun kampung kami atau dusun kami," kata dia.
Sebelum ada tanggul yang dibangun oleh para penambang kejadian ini belum pernah dialami warga.