Pada tahun 1905, Radjiman memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai dokter pemerintah Hindia Belanda.
Sebagai gantinya, Radjiman memilih untuk mengabdikan diri sebagai dokter Keraton Solo atau Kasunanan Surakarta yang saat itu dipimpin Pakubuwono X.
Jasa dan pengabdian Radjiman Wedyodiningrat dilingkungan keraton membuat Pakubuwono X memberikan gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT).
Selain itu, Radjiman juga mendapat kesempatan untuk belajar ke luar negeri dengan dibiayai dari keraton.
Radjiman mengenyam pendidikan di Amsterdam, Belanda dan mendapat gelar Europees Art pada tahun 1910.
Kemudian dia melanjutkan studi di bidang Ilmu Kebidanan di Berlin, Jerman. Lalu kembali ke Amsterdam untuk memperdalam Ilmu Rontgenologie pada tahun 1919.
Berikutnya, Radjiman pindah lagi ke Paris, Prancis untu memperdalamilmu Gudascope Urinoir pada tahun 1931.
Radjiman Wedyodiningrat tetap aktif dalam pergerakan nasional di tengah kesibukannya di dunia kedokteran.
Radjiman tercatat sebagai salah satu pendiri Budi Utomo, dan menjadi ketua organisasi itu pada 1914-1915.
Selama periode tahun 1918-1931, Radjiman menjadi anggota Dewan Rakyat atau Volksraad untuk perwakilan Budi Utomo.
Perjuangannya tetap berlanjut meski Tanah Air dikuasai oleh militer Jepang.
Awalnya Radjiman menjadi anggota Dewan Pertimbangan Daerah (Shu Sangi kai) Madiun. Kemudian dia diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi in).
Saat Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat atau Putera, Radjiman ditunjuk untuk menjadi salah satu anggota Majelis Pertimbangan.
Namun situasi pendudukan Jepang mulai melemah seiring dengan situasi Perang Asia Timur Raya yang sudah menghimpit negara itu.
Jepang lantas menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).