Hingga pada tahun 1930, Raden Dorojatun berangkat ke Belanda untuk menempuh pendidikan, salah satunya di Universitas Leiden.
Gusti Raden Mas Dorojatun pulang ke Tanah Air pada Oktober 1939, dan tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia.
Saat itu, Dorojatun dijemput oleh keluarganya yang memang sedang ada agenda di Batavia.
Salah satu agenda yang akan dihadiri adalah jamuan makan bersama Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Sebelum berangkat, Sultan Hamengku Buwono VIII menyematkan Keris Kiai Jaka Piturun, sebagai isyarat bahwa Gusti Raden Mas Dorojatun merupakan pewaris tahta Yogyakarta.
Sultan Hamengku Buwono VIII meninggal dunia setelah pulang dari Batavia, tepatnya pada 22 Oktober 1939.
Gusti Raden Mas Dorojatun akhirnya dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 18 Maret 1940.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX terlibat dalam sejumlah upaya kemerdekaan Indonesia.
Sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan pernyataan bergabungnya wilayah Yogyakarta dengan Republik Indonesia.
Pada masa revolusi, Hamengku Buwono IX mengorganisasikan para laskar pemuda yang berjuang mempertahakan kemerdekaan.
Bahkan Hamengku Buwono IX membentuk dan menjadi panglima Laskar Rakyat Mataram atau Tentara Rakyat Mataram.
Saat kondisi genting pada awal tahun 1946, Hamengku Buwono IX menawarkan Yogyakarta untuk menjadi ibu kota negara
Tawaran itu diterima dan diputuskan pada 3 Januari 1946. Keesokan harinya Presiden Soekarno dan para pejabat negara mulai pindah ke Yogyakarta.
Seusai masa revolusi, Hamengku Buwono IX terlibat aktif dalam pemerintahan pusat.
Hamengku Buwono IX memulai karir di kabinet sebagai Menteri Negara Urusan Daerah Istimewa pada Kabinet Sjahrir III.