Saat itu ada tiga daerah kandidat, yaitu Kadipolo, Sonosewu, dan Desa Sala.
Dari ketiga pilihan itu, Pakubuwana II memilih Desa Sala. Maka daerah kekuasaan Ki Ageng Sala itu dibeli seharga 10.000 ringgit.
Ki Ageng Sala lantas diangkat menjadi abdi dalem Keraton Surakarta dan mendapatkan gelar Bekel.
Namun Ki Ageng Sala meninggal dunia tak lama setelah Keraton Surakarta berdiri.
Jenazahnya kemudian dimakamkan di samping kedua teman seperjuangannya di dekat lokasi keraton.
Saat ini, makam Ki Ageng Sala ada di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, sekitar 500 meter dari Keraton Kasunanan Surakarta.
Sosok Pakubuwono II sebagai penguasa Mataram saat pemindahan pusat pemerintahan ke Surakarta atau Desa Sala juga tidak bisa dikesampingkan.
Pasalnya, pemindahan pusat pemerintahan Mataram dari Kartasura ke Surakarta juga berasal dari perintahnya sebagai penguasa.
Susuhunan Pakubuwana II bernama asli Raden Mas Prabasuyasa. Dia merupakan putra dari Sultan Amangkurat IV.
Pakubuwono II berkuasa dari 1726-1749, dan harus menghadapi banyak peristiwa besar sepanjang pemerintahannya.
Di antara peristiwa yang terjadi adalah Geger Pecinan. Sebuah gerakan perlawanan yang dilancarkan pasukan gabungan pribumi-Tionghoa.
Akibat dari Geger Pecinan ini, Pakubuwono II harus “terusir” dari Istana di Kartasura dan mengungsi di Ponorogo.
Setelah pemberontakan usai, Pakubuwono II memerintahkan pemindahan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Surakarta.
Pemindahan pusat pemerintahan inilah yang mengawali sejarah panjang Kota Surakarta atau Kota Solo dikemudian hari hingga saat ini.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono II ini pula terjadi pemberontakan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi yang masih saudaranya.
Sejarah mencatat, pemberontakan-pemberontakan ini yang kemudian membuat Mataram Islam terpecah menjadi Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, dan Pura Mangkunegaran.
Sumber:
Kompas.com
Tribunnewswiki.com