KOMPAS.com - Garebeg atau Grebeg adalah salah satu upacara penting di Keraton Yogyakarta yang dilakukan tiga kali setahun sesuai penanggalan Jawa.
Dilansir dari laman kratonjogja.id, sebutan Garebeg atau Grebeg memiliki arti diiringi atau diantar oleh orang banyak yang merujuk pada iring-iringan para prajurit dan Abdi Dalem dalam membawa gunungan dari keraton menuju Masjid Gedhe.
Baca juga: Malem Selikuran, Tradisi Menyambut Malam Lailatul Qadar di Keraton Yogyakarta
Namun ada pula pendapat yang menyebut istilah Garebeg atau Grebeg berasal dari kata “gumrebeg” yang mengacu kepada deru angin atau keramaian yang ditimbulkan pada saat berlangsungnya upacara tersebut.
Dalam setahun, Keraton Yogyakarta akan menggelar tiga upacara Grebeg, yaitu Grebeg Syawal, Grebeg Besar, dan Grebeg Mulud.
Baca juga: Yasa Peksi Burak, Hajad Dalem Keraton Yogyakarta dalam Memperingati Isra Miraj
Grebeg Syawal dihelat Keraton Yogyakarta pada tanggal 1 Syawal atau di Hari Raya Idul Fitri.
Sementara Grebeg Besar dihelat pada tanggal 10 Besar (Idul Adha) dan Grebeg Mulud pada tanggal 12 Mulud (Maulid Nabi).
Baca juga: Makna Gunungan dalam Tradisi Grebeg Keraton Yogyakarta dan Solo
Asal-usul perayaan Grebeg di Keraton Yogyakarta diperkirakan berasal dari tradisi Jawa kuno yang disebut Rajawedha, di mana raja akan memberikan sedekah demi terwujudnya kedamaian dan kemakmuran di wilayah kerajaan yang dipimpinnya.
Namun saat Islam masuk di Kerajaan Demak, upacara ini sempat terhenti sehingga rakyat menjadi resah dan meninggalkan kerajaan yang baru berdiri tersebut.
Kemudian oleh Walisongo, tradisi sedekah atau kurban oleh raja tersebut dihidupkan kembali sebagai sarana penyebaran agama Islam yang mulanya dikenal dengan sebutan Sekaten.
Dari perhelatan Sekaten yang diselenggarakan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad, Kerajaan Demak juga menggelar upacara serupa saat menandai berdirinya Masjid Demak yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha.
Sejak saat itu tradisi sedekah raja ini mulai berlangsung tiga kali setahun, termasuk untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri.
Berawal dari Kerajaan Demak, selanjutnya Kerajaan Islam di Jawa turut memelihara tradisi sedekah raja tersebut.
Dikutip dari laman Dinas Kebudayaan DIY, tradisi Grebeg di Keraton Yogyakarta pertama kali diadakan oleh Sultan Hamengkubuwono I.
Sebelum berintegrasi dengan Republik Indonesia, saat garebeg berlangsung para bupati dan pejabat dari seluruh wilayah pemerintahan Yogyakarta.
Mereka yang hadir baik dari wilayah negaragung (wilayah inti kerajaan) maupun mancanegara (daerah-daerah di luar wilayah inti kerajaan), hadir ke kutanegara (ibu kota kerajaan) untuk menghadap Sultan dan menyerahkan upeti.