Mayoritas cabai dari wilayah tersebut dikirim ke Jakarta, sementara sebagian lainnya ke kota-kota besar di Pulau Jawa dan Sumatera seperti Palembang dan Padang.
“Tadi malam saja ada sekitar 15 ton cabai yang dikirim, mayoritas ke Jakarta,” ujarnya.
Baca juga: Anggota DPRD Kampar Disiram Air Cabai, Pelaku Dapat Bisikan
Sementara itu, Jaka Samudra, Dukuh Sidorejo di Kalurahan Banaran, mengakui bahwa penurunan hasil panen tahun ini terasa sangat berat bagi petani.
“Kalau tahun kemarin bisa panen 40 sampai 50 ton per hari, sekarang tinggal 15 sampai 20 ton saja,” ungkapnya.
Menurut Jaka, selain serangan penyakit yang meningkat, kualitas cabai juga menurun karena banyak buah yang lembek dan busuk di perjalanan akibat kondisi lembap.
“Sampai sana dibuka sudah lonyot. Jadi rugi dua kali, hasil sedikit dan kualitas turun,” katanya.
Panen cabai merah keriting di kawasan pantai Trisik, Kabupaten Galur, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.Baca juga: Mapolres Dairi Dilempari Batu dan Cabai, Massa Tuntut Bebaskan Tersangka Pembakaran
“Kemarin harga sempat Rp 38.000 per kilogram, tapi tadi malam turun jadi Rp 28.000. Dengan biaya tenaga panen dan perawatan yang tinggi, petani nyaris tidak mendapat keuntungan,” ujarnya.
Cuaca ekstrem yang terjadi di Kulon Progo menjadi pengingat pentingnya upaya adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim.
Kolaborasi antara petani, pemerintah, dan pihak terkait dibutuhkan agar produksi cabai nasional tetap stabil di tengah tantangan cuaca yang semakin tidak menentu.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang