Putranya menunjukkan keinginan untuk masuk TK di usia 2 tahun karena melihat sepupunya bersekolah.
Saat itu, Wilang langsung mampu membaca dengan lancar.
“Di masa TK, ada lembaga datang ngecek IQ yang sederhana banget. Saya sendirian yang dipanggil. Sama psikolog dikatakan kalau ada sesuatu yang lebih pada Wilang,” kata Wawa.
Meski awalnya mengabaikan saran untuk memeriksakan anak ke psikolog, Wawa akhirnya membawa Wilang melakukan tes IQ di UAD dan UGM. Hasilnya, Wilang tercatat memiliki IQ 150+ dengan skala Binet.
Namun, perjalanan sekolahnya tidak mudah. Wilang pernah tidak diperbolehkan masuk kelas oleh guru karena sudah bisa membaca lebih dulu dibanding teman sebayanya.
“Selama di TK, Wilang tidak diperbolehkan masuk kelas. Dia malah disuruh antar buku dari ruang kelas ke ruang guru,” ungkapnya.
Saat masuk SD, Wilang menunjukkan ketertarikan untuk langsung ke kelas 5, meski baru duduk di kelas 1.
Setiap pulang sekolah, ia menangis dan menolak kembali ke kelas awal.
“Ibu cek deh, kayaknya anaknya stres. Saya cek ternyata tidak stres. Umur 5 tahun sudah SD kelas 2,” kata Wawa.
Kini, Wilang sedang menempuh semester 7 di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ia juga sempat mengikuti program pertukaran pelajar ke Jepang pada semester sebelumnya.
Dua cerita ini menggambarkan realita yang sering dialami anak-anak gifted di Indonesia.
Ketidaksesuaian antara kecepatan belajar dan struktur sekolah reguler membuat anak merasa bosan, tidak dimengerti, bahkan diasingkan secara sosial.
Meski memiliki potensi tinggi, banyak gifted children justru mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri secara emosional dan sosial.
Kurangnya dukungan sistemik, seperti guru yang terlatih menangani anak gifted atau kurikulum yang fleksibel, menjadi kendala utama.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang