YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Anak-anak Cerdas Istimewa Bakat Istimewa (CIBI) atau yang dikenal sebagai gifted children kerap menghadapi tantangan saat menempuh pendidikan di sekolah formal.
Berbagai hambatan muncul, mulai dari kebosanan akademik, kesulitan sosial, hingga kurangnya pemahaman guru terhadap kebutuhan mereka.
Rini Maya Puspita, orangtua dari Afa, menceritakan bagaimana anaknya menunjukkan tanda-tanda kecerdasan luar biasa sejak usia 5 tahun.
Baca juga: Ejekan Maut yang Menewaskan Angga Siswa SMP Negeri 1 Geyer
Afa sudah bisa membaca dan menulis saat duduk di TK. Namun, masalah mulai muncul saat ia masuk SD negeri.
“Di SD kaya bosan di sekolah, menerima pelajaran cepat, jawab soal paling 10 menit habis itu dia gambar-gambar,” ujar Rini saat ditemui di Yogyakarta, Rabu (15/10/2025).
Afa juga mengalami kesulitan dalam mengelola emosinya. Ia kerap marah dan mengalami tantrum, sehingga akhirnya dibawa ke psikolog.
Hasil tes menunjukkan bahwa Afa memiliki IQ 156 (skala Wechsler) dan masuk kategori gifted.
“Ada gap besar kematangan intelektual dengan emosional. Mudah marah, kalau yang tidak sesuai dia marah, ekspresinya keras,” ungkap Rini.
Selain itu, Afa sempat mengalami perundungan dari teman-teman sekelasnya karena dianggap "berbeda".
“Waktu itu di SD dibully. Cukup cerdas, dianggap aneh, banyak mikir, ngomong sendiri. Itu teman-temannya ngebully,” tambahnya.
Afa bahkan sempat mempertanyakan sistem pendidikan nasional saat masih duduk di bangku SD.
“Misalnya waktu itu tentang ujian nasional. Kenapa harus ada UN? Kan kemampuan anak-anak beda, kenapa diratakan,” ucap Rini menirukan pertanyaan Afa.
Akhirnya, Afa memutuskan bersekolah melalui homeschooling saat masuk SMP.
Kini, ia telah melanjutkan studi di Universitas Leiden, Belanda, di bidang linguistik, dan berangkat pada September 2025.
Cerita serupa datang dari Rusmwati Wawa, orangtua dari Wilang.
Putranya menunjukkan keinginan untuk masuk TK di usia 2 tahun karena melihat sepupunya bersekolah.
Saat itu, Wilang langsung mampu membaca dengan lancar.
“Di masa TK, ada lembaga datang ngecek IQ yang sederhana banget. Saya sendirian yang dipanggil. Sama psikolog dikatakan kalau ada sesuatu yang lebih pada Wilang,” kata Wawa.
Wawa orangtua WIlang saat menceritakan pengalamannya mengasuh anak gifted di rumahnya di Banguntapan, Bantul, DIY, Rabu (16/10/2025)Meski awalnya mengabaikan saran untuk memeriksakan anak ke psikolog, Wawa akhirnya membawa Wilang melakukan tes IQ di UAD dan UGM. Hasilnya, Wilang tercatat memiliki IQ 150+ dengan skala Binet.
Namun, perjalanan sekolahnya tidak mudah. Wilang pernah tidak diperbolehkan masuk kelas oleh guru karena sudah bisa membaca lebih dulu dibanding teman sebayanya.
“Selama di TK, Wilang tidak diperbolehkan masuk kelas. Dia malah disuruh antar buku dari ruang kelas ke ruang guru,” ungkapnya.
Saat masuk SD, Wilang menunjukkan ketertarikan untuk langsung ke kelas 5, meski baru duduk di kelas 1.
Setiap pulang sekolah, ia menangis dan menolak kembali ke kelas awal.
“Ibu cek deh, kayaknya anaknya stres. Saya cek ternyata tidak stres. Umur 5 tahun sudah SD kelas 2,” kata Wawa.
Kini, Wilang sedang menempuh semester 7 di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ia juga sempat mengikuti program pertukaran pelajar ke Jepang pada semester sebelumnya.
Dua cerita ini menggambarkan realita yang sering dialami anak-anak gifted di Indonesia.
Ketidaksesuaian antara kecepatan belajar dan struktur sekolah reguler membuat anak merasa bosan, tidak dimengerti, bahkan diasingkan secara sosial.
Meski memiliki potensi tinggi, banyak gifted children justru mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri secara emosional dan sosial.
Kurangnya dukungan sistemik, seperti guru yang terlatih menangani anak gifted atau kurikulum yang fleksibel, menjadi kendala utama.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang