YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kalurahan Gadingharjo, Kapanewon Sanden, Bantul, DI Yogyakarta, dekat dengan wilayah pantai, namun tidak memiliki kawasan pantai.
Potensi kalurahan ini sebenarnya beragam, dan memiliki keunikan tidak memiliki jalan yang besar dibandingkan kalurahan yang lain.
Baca juga: Menelusuri Makam Selir Sri Sultan Hamengku Buwono I di Gadingharjo Bantul
"Di sini itu daerah pedesaan, (kalurahan) Gadingharjo. Jauh dari jalan raya, tidak punya jalan raya. Meningkatkan UMKM sulit karena tidak dilalui pengguna jalan," kata Lurah Gadingharjo, Darsono ditemui di Padukuhan Kalimundu, Senin (11/11/2024).
"Jalan besar itu hanya sisi utara, lainnya jalan kampung," ucap dia.
Padahal jika dilihat dari peta hanya sekitar 4 km dari kawasan pantai Goa Cemara, dan sejumlah pantai di wilayah barat Bantul.
Wilayah Gadingharjo yang memiliki luas 308.93 Ha, wilayah utara berbatasan dengan Kalurahan Murtigading, Kapanewon Sanden; wilayah sisi timur dan selatan berbatasan dengan Kalurahan Srigading, Sanden; dan Sisi Barat berbatasan dengan Kalurahan Gadingsari, Kapanewon Sanden.
Upaya dilakukan untuk meningkatkan perekonomian bersama masyarakat dengan memperkenalkan berbagai produk lokal.
Darsono mengatakan, pihaknya kerap menggelar berbagai acara, termasuk 'pasar opo' yang digelar 35 hari sekali untuk memperkenalkan UMKM lokal.
Berbagai umkm lokal berkembang di wilayah Gadingharjo, seperti pembuatan jamu dan minuman tradisional, pemanfaatan sampah, hingga potensi pertanian.
Dapur pengolahan jamu di Kalimundu, Gadingharjo, Sanden, Bantul.Salah satu pembuat jamu, kakak beradik Sadinem dan Parjiyem. Mereka masih mempertahankan pembuatan jamu secara turun temurun.
Dari dapur sederhana rumah miliknya, kakak beradik yang berusia sekitar 70 tahun ini membuat jamu tradisional mulai dari beras kencur, kunir asem, jahe sere, hingga temu lawak, dan jamu paitan.
"Masih tradisional untuk mengeringkan masih dibakar pakai tungku," kata Sadinem.
Keduanya kompak menunjukkan papan yang diletakkan di atas tungku yang baru saja digunakan untuk memanasi kunir agar lebih kering.
Baca juga: 5 Teknik Meracik Jamu, dari Memilih Bahan hingga Cara Minumnya
Kunir atau jahe yang sudah berkurang kadar getahnya lalu diparut, dan diperas. Nantinya ditambah asam jawa dan gula batu, serta gula jawa untuk pembuatan kunir asem.
"Kalau tidak berkurang getahnya kurang segar rasanya," ucap Parjiyem.
Setiap pukul 03.00 WIB, keduanya mulai membuat jamu tradisional dan dikemas dengan botol kecil yang dijual di penjual atau pemesan dijual Rp 6.000. Selain itu, keduanya juga membuat minuman dari buah yang dipanen dari sekitar rumahnya.
"Juga membuat jus buah dari panenan sekitar ada jambu, nanas. Tetapi kalau musim," kata Dwijo salah satu anak Parjiyem.
Potensi yang lain, pengolahan sampah yang dilakukan oleh kompak atau komunitas pengelolaan sampah Kalimundu. Sampah-sampah yang sulit terurai seperti bungkus detergen hingga bungkus kopi diubah menjadi gaun yang indah.
Dukuh Kalimundu, Srihadi Joko Padmono mengatakan, pengolahan sampah mandiri sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2017 lalu.
Namun seiring pasang surutnya pengelolaan melalui sedekah sampah, akhirnya berdiri bank sampah dan kompak dua tahun lalu. 90 persen sampah warga Kalimundu diolah di bank sampah ini.
Bungkus detergen, kopi, dan sejenisnya diubah menjadi barang bernilai seperti gaun. Desain gaun dan karya dari internet dan dikembangkan ulang oleh ibu-ibu.
Baca juga: Bey Minta Hunian Baru di Jabar Miliki Sistem Pengolahan Sampah Mandiri
"Alhamdulilah karya kita banyak yang dapat juara," kata Srihadi.
"Setiap bulan kita kumpulkan sampai tiga kali, kalau tidak bisa diolah atau reduksi kita ke pengepul, kalau kita pakai," ucap dia.
Srihadi mengatakan, punya formula unik untuk mengajak masyarakat mengumpulkan sampah. Dirinya mengajak untuk pentas hasil karya, seperti karnaval.
Dengan iming-iming hasil karyanya ditampilkan, ibu-ibu semangat mengumpulkan dan mengolah sampah.
"Dari situ (diajak show) animonya luar biasa," ucap dia.
Hasil karya kompak sudah pernah dipakai Bupati Bantul hingga dibawa keluar pulau. Srihadi antusias menunjukkan video hasil karyanya saat pentas di Propinsi DIY beberapa waktu lalu.
"Sampai Kalimantan juga lho," kata dia.
Kalurahan Gadingharjo di sebelah selatan memiliki lahan pertanian pasir. Bekas gumuk ini, kini disulap menjadi lahan produktif oleh masyarakat Bantul sisi selatan di Padukuhan Karanganyar.
Padi hingga palawija membuat kawasan pasir ini menjadi hijau di sepanjang mata memandang. Terlihat caping yang melekat di kepala para petani bergerak di sela tumbuhan menahan rintik hujan membasahi wajah mereka pada Senin sore.
"Wah mengolah lahan pasir itu lebih mudah dibandingkan yang tanah. Tapi kalau di lahan pasir harus menggunakan pupuk kandang. Setiap mau menanam harus menggunakan pupuk kandang," kata seorang petani lahan pasir Trisno Atmojo.
Dikatakannya, pertanian lahan pasir untuk sekali menanam padi, palawija, hingga sayuran seperti cabai, selada, kangkung, hingga tomat.
"Sekarang cabai, tapi ya harganya cenderung anjlok," kata dia.
Baca juga: Bersepeda di Kalimundu, Bantul, Belajar Sejarah hingga Melihat Potensi Keindahan Lokal
Dukuh Karanganyar, Mustafa mengatakan luasan lahan di Gadingharjo, ada sekitar 11 hektar, berbatasan langsung dengan Srigading, dan Gadingsari.
"Tanaman padi satu kali, terus palawija tumpangsari, bawang merah, dan cabai. Disisipi sayuran sawi, kangkung dan sebagainya," kata dia
80 persen, dari penduduk Karanganyar sekitar 1250 an merupakan petani lahan pasir. Sebagian kecil petani tanah liat, sehingga kurang bagus.
"Lahan pasir, untuk pengolahan lahan kimianya sedikit. Pupuk kandang diperbanyak untuk menahan air," ucap Mustafa.
Gadingharjo sebentar lagi akan banyak dilirik warga luar daerah karena akan digunakan sebagai lokasi perhelatan musik Ngayogjazz pada 16 November 2024 mendatang. Saat ini sejumlah persiapan sudah dilakukan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang