Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Gadingharjo, Wilayah Pesisir Bantul yang Tidak Memiliki Pantai

Kompas.com, 12 November 2024, 12:53 WIB
Markus Yuwono,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kalurahan Gadingharjo, Kapanewon Sanden, Bantul, DI Yogyakarta, dekat dengan wilayah pantai, namun tidak memiliki kawasan pantai.

Potensi kalurahan ini sebenarnya beragam, dan memiliki keunikan tidak memiliki jalan yang besar dibandingkan kalurahan yang lain.

Baca juga: Menelusuri Makam Selir Sri Sultan Hamengku Buwono I di Gadingharjo Bantul

"Di sini itu daerah pedesaan, (kalurahan) Gadingharjo. Jauh dari jalan raya, tidak punya jalan raya. Meningkatkan UMKM sulit karena tidak dilalui pengguna jalan," kata Lurah Gadingharjo, Darsono ditemui di Padukuhan Kalimundu, Senin (11/11/2024).

"Jalan besar itu hanya sisi utara, lainnya jalan kampung," ucap dia.

Padahal jika dilihat dari peta hanya sekitar 4 km dari kawasan pantai Goa Cemara, dan sejumlah pantai di wilayah barat Bantul.

Wilayah Gadingharjo yang memiliki luas 308.93 Ha, wilayah utara berbatasan dengan Kalurahan Murtigading, Kapanewon Sanden; wilayah sisi timur dan selatan berbatasan dengan Kalurahan Srigading, Sanden; dan Sisi Barat berbatasan dengan Kalurahan Gadingsari, Kapanewon Sanden.

Upaya meningkatkan perekonomian

Upaya dilakukan untuk meningkatkan perekonomian bersama masyarakat dengan memperkenalkan berbagai produk lokal.

Darsono mengatakan, pihaknya kerap menggelar berbagai acara, termasuk 'pasar opo' yang digelar 35 hari sekali untuk memperkenalkan UMKM lokal.

Berbagai umkm lokal berkembang di wilayah Gadingharjo, seperti pembuatan jamu dan minuman tradisional, pemanfaatan sampah, hingga potensi pertanian.

Dapur pengolahan jamu di Kalimundu, Gadingharjo, Sanden, Bantul.KOMPAS.COM/MARKUS YUWONO Dapur pengolahan jamu di Kalimundu, Gadingharjo, Sanden, Bantul.

Jamu tradisional racikan kakak beradik 70 tahun

Salah satu pembuat jamu, kakak beradik Sadinem dan Parjiyem. Mereka masih mempertahankan pembuatan jamu secara turun temurun.

Dari dapur sederhana rumah miliknya, kakak beradik yang berusia sekitar 70 tahun ini membuat jamu tradisional mulai dari beras kencur, kunir asem, jahe sere, hingga temu lawak, dan jamu paitan.

"Masih tradisional untuk mengeringkan masih dibakar pakai tungku," kata Sadinem.

Keduanya kompak menunjukkan papan yang diletakkan di atas tungku yang baru saja digunakan untuk memanasi kunir agar lebih kering.

Baca juga: 5 Teknik Meracik Jamu, dari Memilih Bahan hingga Cara Minumnya

Kunir atau jahe yang sudah berkurang kadar getahnya lalu diparut, dan diperas. Nantinya ditambah asam jawa dan gula batu, serta gula jawa untuk pembuatan kunir asem.

"Kalau tidak berkurang getahnya kurang segar rasanya," ucap Parjiyem.

Setiap pukul 03.00 WIB, keduanya mulai membuat jamu tradisional dan dikemas dengan botol kecil yang dijual di penjual atau pemesan dijual Rp 6.000. Selain itu, keduanya juga membuat minuman dari buah yang dipanen dari sekitar rumahnya.

"Juga membuat jus buah dari panenan sekitar ada jambu, nanas. Tetapi kalau musim," kata Dwijo salah satu anak Parjiyem.

Pengolahan sampah

Potensi yang lain, pengolahan sampah yang dilakukan oleh kompak atau komunitas pengelolaan sampah Kalimundu. Sampah-sampah yang sulit terurai seperti bungkus detergen hingga bungkus kopi diubah menjadi gaun yang indah.

Dukuh Kalimundu, Srihadi Joko Padmono mengatakan, pengolahan sampah mandiri sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2017 lalu.

Namun seiring pasang surutnya pengelolaan melalui sedekah sampah, akhirnya berdiri bank sampah dan kompak dua tahun lalu. 90 persen sampah warga Kalimundu diolah di bank sampah ini.

Bungkus detergen, kopi, dan sejenisnya diubah menjadi barang bernilai seperti gaun. Desain gaun dan karya dari internet dan dikembangkan ulang oleh ibu-ibu.

Baca juga: Bey Minta Hunian Baru di Jabar Miliki Sistem Pengolahan Sampah Mandiri

"Alhamdulilah karya kita banyak yang dapat juara," kata Srihadi.

"Setiap bulan kita kumpulkan sampai tiga kali, kalau tidak bisa diolah atau reduksi kita ke pengepul, kalau kita pakai," ucap dia.

Srihadi mengatakan, punya formula unik untuk mengajak masyarakat mengumpulkan sampah. Dirinya mengajak untuk pentas hasil karya, seperti karnaval.

Dengan iming-iming hasil karyanya ditampilkan, ibu-ibu semangat mengumpulkan dan mengolah sampah.

"Dari situ (diajak show) animonya luar biasa," ucap dia.

Hasil karya kompak sudah pernah dipakai Bupati Bantul hingga dibawa keluar pulau. Srihadi antusias menunjukkan video hasil karyanya saat pentas di Propinsi DIY beberapa waktu lalu.

"Sampai Kalimantan juga lho," kata dia.

Pertanian pasir

Kalurahan Gadingharjo di sebelah selatan memiliki lahan pertanian pasir. Bekas gumuk ini, kini disulap menjadi lahan produktif oleh masyarakat Bantul sisi selatan di Padukuhan Karanganyar.

Padi hingga palawija membuat kawasan pasir ini menjadi hijau di sepanjang mata memandang. Terlihat caping yang melekat di kepala para petani bergerak di sela tumbuhan menahan rintik hujan membasahi wajah mereka pada Senin sore.

"Wah mengolah lahan pasir itu lebih mudah dibandingkan yang tanah. Tapi kalau di lahan pasir harus menggunakan pupuk kandang. Setiap mau menanam harus menggunakan pupuk kandang," kata seorang petani lahan pasir Trisno Atmojo.

Dikatakannya, pertanian lahan pasir untuk sekali menanam padi, palawija, hingga sayuran seperti cabai, selada, kangkung, hingga tomat.

"Sekarang cabai, tapi ya harganya cenderung anjlok," kata dia.

Baca juga: Bersepeda di Kalimundu, Bantul, Belajar Sejarah hingga Melihat Potensi Keindahan Lokal

Dukuh Karanganyar, Mustafa mengatakan luasan lahan di Gadingharjo, ada sekitar 11 hektar, berbatasan langsung dengan Srigading, dan Gadingsari.

"Tanaman padi satu kali, terus palawija tumpangsari, bawang merah, dan cabai. Disisipi sayuran sawi, kangkung dan sebagainya," kata dia

80 persen, dari penduduk Karanganyar sekitar 1250 an merupakan petani lahan pasir. Sebagian kecil petani tanah liat, sehingga kurang bagus.

"Lahan pasir, untuk pengolahan lahan kimianya sedikit. Pupuk kandang diperbanyak untuk menahan air," ucap Mustafa.

Gadingharjo sebentar lagi akan banyak dilirik warga luar daerah karena akan digunakan sebagai lokasi perhelatan musik Ngayogjazz pada 16 November 2024 mendatang. Saat ini sejumlah persiapan sudah dilakukan.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau