Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upacara "Njaluk Udan", Cara Warga Gunungkidul Upayakan Hujan

Kompas.com, 20 September 2024, 23:26 WIB
Markus Yuwono,
Krisiandi

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, masih belum diguyur hujan. Padahal masyarakat amat sangat menantikan hujan turun dari langit.

Kemarau masih belum usai di kabupaten itu. Sudah tampak tanah retak dan pohon daun yang mengering khas musim kemarau dan kekeringan. Harapan warga saat ini hujan turun secepatnya. 

Warga pun tak tinggal diam. Mereka menggelar upacara adat "Njaluk Udan" (meminta hujan). Seperti yang dilakukan warga Kalurahan Giripurwo, Kapanewon Purwosari.

"Kami menggelar upacara njaluk udan biasanya di hari Jumat Kliwon di bulan-bulan September atau Oktober. Tepatnya menjelang masa tanam namun hujan tidak kunjung turun," kata Lurah Giripurwo, Supriyadi saat dihubungi wartawan melalui telepon Jumat (20/9/2024).

Baca juga: Mengenal Tradisi Ojung, Ritual Saling Cambuk Warga di Sumenep untuk Meminta Hujan

Dia mengatakan, upacara adat ini sudah berlangsung turun temurun di kalangan warga Padukuhan Klampok dan Gumbeng.

Upacara ini dipersiapkan masyarakat sejak pagi. Pada siang hari, warga bersama dengan sejumlah tokoh masyarakat dan sesepuh menuju petapaan Andongsari yang berada di atas bukit atau gunung. Mereka membawa beberapa ingkung dan berbagai makanan lainnya.

Selama perjalanan mereka diiringi musik tradisional. Setelah semuanya berkumpul, sesepuh di wilayah atau Rois kemudian mengajak para warga untuk memanjatkan doa.

Beberapa warga meneriakan kata "hujan" sebagai pertanda permintaan hujan kepada Tuhan.

Setelah upacara selesai, seluruh warga makan bersama.

Baca juga: Mengenal Tradisi Tiban untuk Meminta Hujan di Banyuwangi

"Ingkung ayam yang dibawa ke lokasi pelaksanaan upacara adat. Termasuk juga kelapa muda yang kemudian diminum setelah didoakan oleh sesepuh," ucap Supriyadi.

"Kami berharap hujan segera turun, karena wilayah kami sumber air sudah mengering," kata dia.

Wilayah tersebut, sejak beberapa bulan lalu sudah mengalami krisis air bersih. Sumber-sumber air pun juga mulai mengering puncaknya terjadi pada Agustus hingga Oktober.

Dampak kemarau panjang


Adapun dampak musim kemarau, menurut Supriyadi, adalah warga harus membeli air bersih. Itu menjadi beban baru bagi warga. 

"Warga membeli tangki swasta Rp 150.000 sampai Rp 200.000 yang bisa digunakan sekitar dua minggu," kata dia.

Selain itu monyet ekor panjang mulai meresahkan karena masuk ke lahan dan pekarangan warga.  Dampak lainnya adalah kegiatan pertanian yang terhenti.

Halaman:


Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau