Setelah istri keduanya meninggal, dirinya pulang ke Susukan II, dan dibuatkan rumah kecil beralaskan tanah berukuran sekitar 8x6 meter.
Lampu penerangan kecil setiap malam memberikan cahaya redup untuk tubuh rentanya.
Sarno tidak berpenghasilan dan hidup sebatang kara. Untuk kembali bekerja jelas tidak memungkinkan karena tubuhnya tidak sekuat dulu lagi.
"Saya sekarang menganggur. Sekarang saya sendiri, makan kalau tidak diberikan saya tidak makan," ucap dia.
Bahkan, saat teman-temannya yang lain bisa mengurus menjadi anggota veteran, dirinya tidak bisa, dan sudah dua kali dilakukan.
Baca juga: Nasib Mbak Ita di Pilkada Kota Semarang 2024 Tunggu Keputusan DPP PDI-P
Sambil menatap dalam, ia sering meratapi kehidupannya yang dijalani.
"Saya setiap hari nelongso nangis dalam batin. Saya kurang apa, perlengkapan sudah baik semua. Boleh dibaca surat saya semuanya bersih, baik," ucap pria kelahiran 21 April 1940.
Seorang kerabat Sarno, Sukiran (66) membenarkan Sarno telah tinggal di rumah tersebut sebatang kara sejak kurang lebih 20 tahun.
Selain tetangga sekitar, dia mendapatkan bantuan beras dan telur dari salah satu gereja.
Beberapa tahun terakhir kesehatan Sarno menurun, bahkan tiga kali operasi yakni 2 kali prostat, dan 1 kali hernia. Semuanya tercover BPJS Kesehatan.
"Makan dapat dari yayasan sudah setahun terakhir. Utamanya mengandalkan saudara dan tetangga," ucap dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang