KOMPAS.com - Banyak yang mengira Pasar Beringharjo adalah pasar tradisional tertua di Kota Yogyakarta, namun ternyata hal tersebut kurang tepat.
Pasar tradisional tertua di Kota Yogyakarta justru adalah Pasar Legi Kotagede yang telah ada sejak abad ke-16.
Baca juga: Makam Raja-Raja Mataram di Kotagede: Sejarah dan Daftar Nama Raja yang Dimakamkan
Seperti diketahui, Pasar Beringharjo didirikan oleh pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I ketika membangun Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 1758.
Sementara, Pasar Legi Kotagede justru sudah ada sejak berdirinya Kerajaan Mataram Islam di tahun 1549.
Baca juga: Sejarah Kotagede, Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam yang Pertama
Lokasi Pasar Legi Kotagede ada di Jalan Mentaok Raya, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta.
Nama pasar ini diambil dari hari pasaran menurut kalender Jawa, di mana pada zaman dulu di hari pasaran Legi terjadi aktivitas transaksi jual beli yang paling ramai.
Baca juga: 5 Tempat Makan Sekitar Pasar Kotagede Yogyakarta untuk Wisata Kuliner
Keberadaan Pasar Legi Kotagede masih terkait dengan sejarah Kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Kotagede.
Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta, hal ini bermula dari sebuah hadiah yang diberikan Sultan Hadiwijaya pemimpin Kesultanan Pajang kepada Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi yang berhasil menyingkirkan Arya Penangsang pada tahun 1549.
Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi mendapat hadiah tanah di kawasan Alas Mentaok yang saat itu masih berupa hutan.
Sebagai penguasa di daerah tersebut, Ki Ageng Pamanahan pun berganti nama menjadi Ki Gede Mataram atau Ki Ageng Mataram.
Saat membuka Alas Mentaok menjadi sebuah kota, sebelum membangun istana atau pemukiman di kawasan Mataram, Ki Gede Pemanahan terlebih dahulu membangun Sargedhe atau Pasar Gede.
Pasar yang menjadi pusat ekonomi dianggap jauh lebih penting bagi masyarakat Mataram daripada kerajaan sebagai pusat pemerintahan.
Keberadaan sebuah pasar bukan hanya dianggap sebagai pusat ekonomi, namun menjadi tempat interaksi warga dengan segala bentuk kegiatan yang bisa terjadi di dalamnya.
Saat itu, tata kota atau wilayah telah menganut konsep Catur Gatra Tunggal, sama halnya dengan sebuah kerajaan pada umumnya.
Catur Gatra Tunggal berarti dalam sebuah pemerintahan harus memiliki empat hal, yaitu keraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai tempat berkumpul dan budaya, masjid sebagai tempat ibadah, dan pasar sebagai pusat ekonomi.