Pada awalnya, kawasan Pasar Gede masih banyak ditumbuhi pohon perindang dan lokasinya belum seluas sekarang.
Aktivitas jual beli dilakukan di bawah pohon, di mana penjual menggelar dagangan dan duduk beralaskan tanah.
Sebagian besar dagangan adalah hasil bumi berupa beras, sayur-mayur, dan buah-buahan yang dibawa pedagang dari desa-desa di sekitar dengan cara dipikul atau digendong.
Seiring berjalannya waktu, pasar ini menjadi ramai pada waktu tertentu, yaitu pada hari pasaran Legi dalam kalender Jawa. Sehingga kemudian Pasar Gede dikenal juga dengan nama Pasar Legi.
Pada hari pasaran tersebut tidak hanya ditemukan penjual hasil bumi, namun juga penjual berbagai jenis kain batik, peralatan membatik, gerabah, hingga barang-barang dari besi dan tembaga seperti sabit, cangkul, dan pisau.
Pada saat Pemerintahan Hindia Belanda masuk ke Yogyakarta, Pasar Legi Kotagede mengalami perkembangan yang pesat.
Pedagang yang datang dari luar Kotagede mulai tinggal dan menetap. Mereka ada menjual kayu bakar dan mendirikan warung nasi dan minuman.
Renovasi Pasar Legi Kotagede secara menyeluruh terakhir dilakukan pada tahun 1986, dan diresmikan pada 22 Februari 1986 oleh Walikota Yogyakarta Soegiarto yang menjabat pada masa itu.
Saat ini, Pasar Legi Kotagede menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang menjadi bagian dari Kawasan Cagar Budaya Kotagede.
Di sekitarnya terdapat bangunan cagar budaya lain seperti Babon ANIEM, Tugu Ngejaman, Masjid Gedhe Mataram Kotagede, dan Makam Raja-Raja Mataram Kotagede.
Hingga saat ini, Pasar Legi Kotagede masih menjadi tempat jual beli yang ramai dikunjungi masyarakat sekitar dan kerap disinggahi wisatawan untuk berburu kuliner.
Sumber:
jogjacagar.jogjaprov.go.id
budaya.jogjaprov.go.id
indonesia.go.id
jogja.tribunnews.com
yogyakarta.kompas.com