KOMPAS.com - Keraton Yogyakarta memiliki dua lapis tembok yaitu tembok cepuri yang mengelilingi kawasan tempat tinggal Sultan dan keluarganya serta tembok yang besar dan kuat layaknya sebuah benteng.
Benteng ini dibangun mengelilingi area yang lebih luas dan melingkupi kawasan tempat tinggal kerabat Sultan dan pemukiman Abdi Dalem atau dikenal sebagai Jeron Beteng.
Baca juga: Sekaten, Hajad Dalem Keraton Yogyakarta di Bulan Mulud
Dikutip dari laman kebudayaan.jogjakota.go.id, bangunan benteng yang megah dengan perlindungan berlapis ini pada awalnya digunakan untuk menghalau serangan musuh.
Sementara dikutip dari laman jogjacagar.jogjaprov.go.id, fungsi benteng Keraton Yogyakarta adalah sebagai penanda batas Keraton Kesultanan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal Sultan beserta keluarga dan para abdi dalemnya.
Kini, benteng Keraton Yogyakarta juga menjadi tempat dilakukannya tradisi Malam 1 Suro yang disebut ritual mubeng beteng.
Baca juga: Benteng Baluwerti, Saksi Sejarah Perkembangan Keraton Yogyakarta
Bangunan benteng Keraton Yogyakarta yang sering disebut beteng ini juga dikenal dengan nama tembok Baluwarti.
Dilansir dari laman kratonjogja.id, sebutan Baluwarti memiliki kesamaan bunyi dengan kata dalam Bahasa Portugis yaitu "baluarte" yang juga berarti benteng.
Baca juga: Jokteng, Sejarah dan Keistimewaan Sudut Benteng Keraton Yogyakarta
Lebih lanjut, Denys Lombard, seorang peneliti sejarah Asia Tenggara, menyimpulkan bahwa kata Baluwarti memang merupakan kata serapan dari Bahasa Portugis.
Hal ini cukup beralasan karena memang pembangunan tembok Baluwarti dilakukan pada waktu yang sama dengan pembangunan Tamansari yang dirancang oleh seorang arsitek berkebangsaan Portugis.
Benteng Keraton Yogyakarta atau Benteng Baluwarti dibangun pada masa pemerintahan Pangeran Mangkubumi atau yang dikenal sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Kasultanan Yogyakarta.
Dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain yang ada di Keraton Yogyakarta, tembok Baluwarti menjadi bagian paling akhir yang diselesaikan.
Pada awalnya benteng yang digunakan sebagai pertahanan dari serangan penjajah ini dibuat dari jajaran dolog (gelondongan) kayu.
Pembangunannya dipimpin oleh R. Rangga Prawirasentika yang merupakan Bupati Madiun dan selesai dibangun pada tahun 1706 menurut penanggalan Jawa atau tahun 1782 Masehi.
Pembangunan benteng ini kemudian dilanjutkan secara bertahap dan selesai pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Pada masa itu, bangunan benteng diperkuat lagi menggunakan dinding dari batu bata yang diplester dengan campuran pasir, gamping, dan tumbukan bata merah.