Tugu Golong Gilig juga menjadi simbol atas filosofi Jawa yaitu Manunggaling Kawula Gusti yang bukan hanya berarti menyatunya rakyat dengan penguasa, tetapi juga menyatunya manusia dengan kehendak Sang Pencipta.
Tak hanya sebagai monumen atau landmark, bulatan atau gilig pada puncak tugu digunakan sebagai titik pandang ketika Sri Sultan sinawaka (meditasi) di Bangsal Manguntur Tangkil yang ada di Siti Hinggil Lor, Keraton Yogyakarta.
Sementara dilansir dari laman Kemendikbud, Keberadaan Tugu Golong Gilig merupakan bagian dari titik yang membentuk poros imajiner bersama unsur pembentuk lainnya yakni Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, serta Laut Selatan.
Namun kejadian gempa tektonik yang terjadi pada 10 Juni 1867 di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI membuat beberapa bangunan runtuh, termasuk juga Tugu Golong Gilig.
Sepertiga bagian pilar tugu ini patah akibat guncangan gempa berskala besar. Setelah itu, Tugu Golong Gilig pun mulai terbengkalai.
Selanjutnya, Tugu Pal Putih pun dibangun untuk menggantikan Tugu Golong Gilig yang sudah rusak karena gempa.
Pembangunan Tugu Pal Putih dilakukan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889.
Namun pembangunan Tugu Pal Putih mengubah bentuk tugu dari yang semula berbentuk golong dan gilig, menjadi berbentuk persegi dan berujung lancip.
Selain itu ketinggian tugu yang semula 25 meter dikurangi menjadi hanya 15 meter saja, atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula.
Konon Tugu Pal Putih merupakan strategi pemerintah Belanda untuk menghilangkan simbol kebersamaan raja dan rakyat yang ditunjukkan oleh desain Tugu Golong Gilig.
Selain bentuk dan ketinggian, Tugu Pal Putih juga memiliki prasasti pada setiap sisi tugu yang merekam proses pembangunan tugu tersebut.
Prasasti pada sisi barat berbunyi, “YASAN DALEM INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN HAMENGKUBUWANA KAPING VII” yang menunjukkan bahwa tugu tersebut dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Prasasti pada sisi timur berbunyi, “INGKANG MANGAYUBAGYA KARSA DALEM KANJENG TUWAN RESIDHEN Y. MULLEMESTER” yang menyebutkan bahwa Y. Mullemester, Residen Yogyakarta waktu itu, menyambut baik pembangunan tugu tersebut.
Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintah Belanda tidak terlibat dalam pendanaan Tugu Pal Putih.
Prasasti pada sisi selatan berbunyi, “WIWARA HARJA MANGGALA PRAJA, KAPING VII SAPAR ALIP 1819”. Wiwara Harja Manggala Praja merupakan sengkalan yang diartikan bahwa perjalanan menuju gerbang kemakmuran dimulai dari pemimpin negara.