Salin Artikel

Mengenal Tugu Golong Gilig dan Bedanya dengan Tugu Pal Putih

KOMPAS.com - Tugu Yogyakarta merupakan sebuah ikon pariwisata dan menjadi lambang dari Kota Yogyakarta.

Lokasinya berada di simpang empat Jalan Margo Utomo (Jalan Pangeran Mangkubumi), Jalan A.M. Sangaji, Jalan Jendral Sudirman, dan Jalan P. Diponegoro.

Tugu Yogyakarta pun sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM 25/ PW.007/ MKP/2007.

Pada tahun 2023, Tugu Yogyakarta yang berada di kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta turut menjadi salah satu Warisan Dunia yang diakui oleh UNESCO.

Nama Tugu Pal Putih berawal dari cara orang Belanda menyebutnya sebagai “de white paal” karena bentuknya yang panjang dan warnanya yang putih.

Namun sebelum Tugu Pal Putih yang sekarang berdiri, di tempat yang sama juga pernah dibangun Tugu Golong Gilig.

Sebutan Tugu Golong Gilig juga berasal dari bentuknya yang berupa silinder (golong) dengan puncak berupa bulatan (gilig).

Miniatur Tugu Golong Gilig bisa ditemukan di arema Diorama Tugu (Sumbu Filosofi Yogyakarta) yang ada di tenggara Tugu Pal Putih.

Perbedaan Tugu Golong Gilig dan Tugu Pal Putih

Tugu Golong Gilig dan Tugu Pal Putih memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan itu tidak hanya dari bentuk dan ukuran, namun juga waktu pembangunan dan sejarahnya.

Tugu Golong Gilig dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I tepatnya pada tahun 1756.

Bentuk tubuhnya berupa silinder (golong) dan puncak berupa bulatan (gilig), dengan tinggi 25 meter.

Sementara Tugu Pal Putih dilakukan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan diresmikan pada tahun 1889.

Bentuk tubuhnya berbentuk persegi dengan empat sisi yang memiliki prasasti dan puncaknya berujung lancip, dengan tinggi 15 meter.

Sejarah Tugu Golong Gilig dan Tugu Pal Putih

Dilansir dari laman kratonjogja.id, Tugu Golong Gilig dibangun setahun setelah Yogyakarta berdiri, tepatnya pada tahun 1756.

Bentuk sederhana dari Tugu Golong Gilig ternyata memiliki makna semangat persatuan antara rakyat dengan rajanya.

Tugu Golong Gilig juga menjadi simbol atas filosofi Jawa yaitu Manunggaling Kawula Gusti yang bukan hanya berarti menyatunya rakyat dengan penguasa, tetapi juga menyatunya manusia dengan kehendak Sang Pencipta.

Tak hanya sebagai monumen atau landmark, bulatan atau gilig pada puncak tugu digunakan sebagai titik pandang ketika Sri Sultan sinawaka (meditasi) di Bangsal Manguntur Tangkil yang ada di Siti Hinggil Lor, Keraton Yogyakarta.

Sementara dilansir dari laman Kemendikbud, Keberadaan Tugu Golong Gilig merupakan bagian dari titik yang membentuk poros imajiner bersama unsur pembentuk lainnya yakni Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, serta Laut Selatan.

Namun kejadian gempa tektonik yang terjadi pada 10 Juni 1867 di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI membuat beberapa bangunan runtuh, termasuk juga Tugu Golong Gilig.

Sepertiga bagian pilar tugu ini patah akibat guncangan gempa berskala besar. Setelah itu, Tugu Golong Gilig pun mulai terbengkalai.

Selanjutnya, Tugu Pal Putih pun dibangun untuk menggantikan Tugu Golong Gilig yang sudah rusak karena gempa.

Pembangunan Tugu Pal Putih dilakukan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889.

Namun pembangunan Tugu Pal Putih mengubah bentuk tugu dari yang semula berbentuk golong dan gilig, menjadi berbentuk persegi dan berujung lancip.

Selain itu ketinggian tugu yang semula 25 meter dikurangi menjadi hanya 15 meter saja, atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula.

Konon Tugu Pal Putih merupakan strategi pemerintah Belanda untuk menghilangkan simbol kebersamaan raja dan rakyat yang ditunjukkan oleh desain Tugu Golong Gilig.

Selain bentuk dan ketinggian, Tugu Pal Putih juga memiliki prasasti pada setiap sisi tugu yang merekam proses pembangunan tugu tersebut.

Prasasti pada sisi barat berbunyi, “YASAN DALEM INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN HAMENGKUBUWANA KAPING VII” yang menunjukkan bahwa tugu tersebut dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Prasasti pada sisi timur berbunyi, “INGKANG MANGAYUBAGYA KARSA DALEM KANJENG TUWAN RESIDHEN Y. MULLEMESTER” yang menyebutkan bahwa Y. Mullemester, Residen Yogyakarta waktu itu, menyambut baik pembangunan tugu tersebut.

Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintah Belanda tidak terlibat dalam pendanaan Tugu Pal Putih.

Prasasti pada sisi selatan berbunyi, “WIWARA HARJA MANGGALA PRAJA, KAPING VII SAPAR ALIP 1819”. Wiwara Harja Manggala Praja merupakan sengkalan yang diartikan bahwa perjalanan menuju gerbang kemakmuran dimulai dari pemimpin negara.

Sengkalan yang menunjuk pada angka 1819 dalam kalender Jawa yang menandai selesainya pembangunan Tugu Golong Gilig yang baru.

Di atas tulisan tersebut terdapat lambang padi dan kapas dengan tulisan HB VII dengan lambang mahkota Belanda di puncaknya yang menjadi lambang resmi yang dipakai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Prasasti pada sisi utara berbunyi, “PAKARYANIPUN SINEMBADAN PATIH DALEM KANJENG RADEN ADIPATI DANUREJA INGKANG KAPING V. KAUNDHAGEN DENING TUWAN YPF VAN BRUSSEL. OPSIHTER WATERSTAAT”.

Prasasti ini menyebutkan bahwa pelaksanaan pembangunan tugu dipimpin oleh Patih Danurejo V, sementara arsitektur tugu dirancang oleh seorang petugas Dinas Pengairan Belanda yang bertugas di Yogyakarta, YPF Van Brussel.

Sumber:
kratonjogja.id  
kebudayaan.kemdikbud.go.id  
pariwisata.jogjakota.go.id  

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/09/19/212751178/mengenal-tugu-golong-gilig-dan-bedanya-dengan-tugu-pal-putih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke