“Saya suatu hari nanti ingin jadi pelukis,” kata Septi.
Kampung Suci sebutan warga bagi kawasan tempat tinggal keluarga Sumiran. Kampung itu berada di seberang sungai di balik Pedukuhan Watu Belah.
Dulunya, kampung Suci ini berisi sekitar 10 keluarga. Sisa keberadaan mereka masih ada, seperti bekas pondasi, tonggak rumah yang tersembunyi dalam semak, jalan setapak tertutup rumput tinggi, hingga bangunan kosong.
“Warga di sini sudah berpindah ke tempat yang dekat akses jalan. Mengingat kewilayahan, di sini sulit geografis. Rumah terdekat (dari Sumiran) antara 1,5-2 kilometer,” kata Gunawan, tetangga Sumiran di RT 45 RW 22.
Gunawan mengungkapkan, sejumlah bantuan mengalir dari beberapa pihak. Terutama bantuan sosial Program Keluarga Harapan dari pemerintah, mulai dari bantuan untuk keluar pra-sejahtera, KIP dan KIS, hingga bantuan rumah yang lebih dekat dengan perkampungan warga.
“Karena ada beberapa hal yang belum selesai, maka belum ditempati,” kata Gunawan.
Baca juga: Anjing yang Hilang di Lautan Es Terpencil Australia Kembali Secara Ajaib ke Pemiliknya
Istri Sumiran, Sugiyanti menceritakan, keluarga mereka belum memutuskan pindah ke rumah baru di tengah pedukuhan karena rumah yang ditempati sekarang merupakan rumah tabon atau warisan orangtua. Turun temurun mereka hidup di sana, hidup dari alam.
Mereka juga mudah mendapat kayu bakar, memetik daun singkong dan daun pepaya, dibikin oseng-oseng lalu dimakan. Ada pula kelapa, pisang dan banyak tumbuhan yang bisa disayur. Mereka mengambil air yang berlimpah dari mata air di pegunungan. Sedangkan listrik disalurkan lewat kabel yang ditarik sejauh tiga kilometer dari desa sebelah.
Mereka juga memelihara ayam dan berharap mendapat tambahan asupan dari telur yang dihasilkan.
Sugiyanti mengakui hidup dalam kesederhanaan lantaran suaminya, Sumiran, hanya buruh serabutan yang sesekali menghasilkan uang dari kerja kasar. Karenanya, penghasilan keluarga minim masih sulit untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
“Kalau ada rezeki baru bisa beli bawang untuk masak. Kalau tidak ya, masak nasi saja. Tidak pernah beli lauk, ya karena tidak ada (uang),” kata Sugiyanti.
Sekalipun hidup sederhana, mereka tidak berniat pindah mengikuti jejak tetangganya yang lebih dahulu keluar dari Kampung Suci. Mereka berniat tetap tinggal di sini karena Sumiran dan Sugiyanti belum mampu bekerja menghasilkan upah tetap, sedangkan saat ini semua serba disediakan oleh alam untuk penghidupan sehari-hari.
Baca juga: Hogio, Distrik Terpencil di Yahukimo yang Kini Mendapat Akses Listrik dan Air Bersih
“Sedangkan kalau untuk uang jajan dan beli peralatan sekolah, kami menjual ayam. Tapi harus berkelahi dulu dengan biawak dan ular yang suka memangsa ayam. Pernah satu hari hilang dua (dimangsa biawak). Sedih rasanya,” kata Sugiyanti.
Septi mengaku betah meski jauh dari keramaian. Ia sering memanfaatkan waktu berteman dengan ayam peliharaan dan anjing penjaga kawasan rumah dari biawak dan ular yang berulang kali mengincar ayam. Setiap hari, Septi memberi makan peliharaannya itu sambil mengajak bicara.
Sumiran dan Sugiyanti mengaku terus berharap, Septi tumbuh menggapai cita-cita di tengah kehidupan mereka yang penuh prihatin, kekurangan dan berteman sepi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.