Salin Artikel

Kisah Murid SD di Kampung Sunyi Terpencil di Kulon Progo, Melintasi Bukit dan Tebing demi Pergi ke Sekolah

Septi sudah berkemas sejak pukul 05.00 WIB, untuk berangkat pukul 06.00 WIB. Selanjutnya, ia jalan kaki dari rumah ke muara gang di pinggir jalan dusun yang letaknya jauh di atas bukit.

“Satu setengah kilo. Yang antar ayah. Sekolah di (dusun) Parakan, SD Kutogiri,” kata Septi, panggilan Dewi Septiani, di rumahnya, Selasa (30/5/2023).

Septi masih kelas tiga di Sekolah Dasar Kutogiri pada Pedukuhan Parakan.

Ia hidup bersama ayah, ibu dan kakaknya yang sudah bekerja di pinggiran Kabupaten Bantul. Mereka tinggal di lereng bukit di Watu Belah. Di sana ada Sumiran (49), ayahnya, lalu ibunya yang bernama Sugiyanti (50), dan kakaknya Agus Harwanto (24).

Sepi dan lengang menjadi teman sehari-hari keluarga ini. Pasalnya, mereka satu-satunya keluarga yang hidup pada kemiringan bukit Watu Belah. Rumah mereka terpisah jauh dari perkampungan ramai penduduk Waktu Belah. Keluarga Sumiran jadi seperti terpencil.

Jalan setapak selebar badan orang dewasa terentang antara 1,5 - 2 kilometer. Jalan ini tanah penuh batu hitam mencuat. Bila tidak hati-hati, kaki bisa tersandung batu ataulah terpeleset.

Jalan setapak berkelok kelok, menurun tajam ataulah menanjak terjal mengikuti kontur bbukit Hutan bambu dan kebun pohon kayu keras tidak terawat serasa hutan jadi pemandangan utama.

Setengah perjalanan, ada jembatan anyaman bambu untuk menyeberang sungai dengan dasar batu andesit.

Perjalanan menantang. Bagi warga setempat yang sudah biasa, tetap saja mandi keringat.

Septi selalu melewati jalan seperti ini setiap berangkat atau pulang sekolah. Hujan pun tetap berangkat sekolah. Butuh setidaknya hampir satu jam jalan kaki menuju pinggir jalan dusun. Di pinggir jalan dusun, Sumiran dan Septi melanjutkan naik motor ke sekolah.

“Dia selalu jalan dari bawah ke atas. Kalau becek biasanya digendong. Lebih sering jalan sendiri,” kata Sumiran.

Septi mengaku tetap semangat untuk sekolah meski penuh tantangan di daerah terpencil. Ia bercita-cita jadi pelukis mengikuti hobi ibunya yang suka menggambar meski dalam keterbatasan.

Ia punya ruang khusus belajar di dalam rumah kayu beralas tanah. Jeriken 50 liter jadi tempat duduk saat belajar. Di ruang itu, ia suka menggambar dan mewarnai.

“Saya suatu hari nanti ingin jadi pelukis,” kata Septi.

Terpencil

Kampung Suci sebutan warga bagi kawasan tempat tinggal keluarga Sumiran. Kampung itu berada di seberang sungai di balik Pedukuhan Watu Belah.

Dulunya, kampung Suci ini berisi sekitar 10 keluarga. Sisa keberadaan mereka masih ada, seperti bekas pondasi, tonggak rumah yang tersembunyi dalam semak, jalan setapak tertutup rumput tinggi, hingga bangunan kosong.

“Warga di sini sudah berpindah ke tempat yang dekat akses jalan. Mengingat kewilayahan, di sini sulit geografis. Rumah terdekat (dari Sumiran) antara 1,5-2 kilometer,” kata Gunawan, tetangga Sumiran di RT 45 RW 22.

Gunawan mengungkapkan, sejumlah bantuan mengalir dari beberapa pihak. Terutama bantuan sosial Program Keluarga Harapan dari pemerintah, mulai dari bantuan untuk keluar pra-sejahtera, KIP dan KIS, hingga bantuan rumah yang lebih dekat dengan perkampungan warga.

“Karena ada beberapa hal yang belum selesai, maka belum ditempati,” kata Gunawan.

Istri Sumiran, Sugiyanti menceritakan, keluarga mereka belum memutuskan pindah ke rumah baru di tengah pedukuhan karena rumah yang ditempati sekarang merupakan rumah tabon atau warisan orangtua. Turun temurun mereka hidup di sana, hidup dari alam.

Mereka juga mudah mendapat kayu bakar, memetik daun singkong dan daun pepaya, dibikin oseng-oseng lalu dimakan. Ada pula kelapa, pisang dan banyak tumbuhan yang bisa disayur. Mereka mengambil air yang berlimpah dari mata air di pegunungan. Sedangkan listrik disalurkan lewat kabel yang ditarik sejauh tiga kilometer dari desa sebelah.

Mereka juga memelihara ayam dan berharap mendapat tambahan asupan dari telur yang dihasilkan.

Sugiyanti mengakui hidup dalam kesederhanaan lantaran suaminya, Sumiran, hanya buruh serabutan yang sesekali menghasilkan uang dari kerja kasar. Karenanya, penghasilan keluarga minim masih sulit untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

“Kalau ada rezeki baru bisa beli bawang untuk masak. Kalau tidak ya, masak nasi saja. Tidak pernah beli lauk, ya karena tidak ada (uang),” kata Sugiyanti.

Sekalipun hidup sederhana, mereka tidak berniat pindah mengikuti jejak tetangganya yang lebih dahulu keluar dari Kampung Suci. Mereka berniat tetap tinggal di sini karena Sumiran dan Sugiyanti belum mampu bekerja menghasilkan upah tetap, sedangkan saat ini semua serba disediakan oleh alam untuk penghidupan sehari-hari.

“Sedangkan kalau untuk uang jajan dan beli peralatan sekolah, kami menjual ayam. Tapi harus berkelahi dulu dengan biawak dan ular yang suka memangsa ayam. Pernah satu hari hilang dua (dimangsa biawak). Sedih rasanya,” kata Sugiyanti.

Septi mengaku betah meski jauh dari keramaian. Ia sering memanfaatkan waktu berteman dengan ayam peliharaan dan anjing penjaga kawasan rumah dari biawak dan ular yang berulang kali mengincar ayam. Setiap hari, Septi memberi makan peliharaannya itu sambil mengajak bicara.

Sumiran dan Sugiyanti mengaku terus berharap, Septi tumbuh menggapai cita-cita di tengah kehidupan mereka yang penuh prihatin, kekurangan dan berteman sepi.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/05/31/133033678/kisah-murid-sd-di-kampung-sunyi-terpencil-di-kulon-progo-melintasi-bukit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke