Jumini seorang diri hidup di lereng bukit Plampang II. Kedua anak laki-lakinya sudah berumah tangga dan hidup di kota. Sedangkan Waidi, suami dari Jumini, sudah meninggal dunia belasan tahun silam.
Rumah tinggal Jumini berada di lereng bukit terjal. Jaraknya kira-kira satu kilometer dari sebuah sekolah dasar di lereng terbawah. Menuju ke sana harus lewat jalan samping sekolah, menanjak, berbatu dan rasanya sulit dilewati.
Rumah Jumini paling atas. Terdapat ekskavator mangkrak di sana. Jumini menempati dua rumah gebyok atau rumah Jawa model limasan dari kayu.
Rumah satu untuk tidur, yang sebelah depan ruang menerima tamu dan menyimpan gamelan.
Baca juga: 72 Titik di Kulon Progo Longsor, 60 Rumah Warga Rusak Berat
Kedua rumah berada di samping jurang yang dalam sampai ke sungai. Pada sisi yang lain dari rumah adalah tanah samping tebing yang lahannya sudah terkupas.
Lahan dan tebing merupakan tanah keluarga Jumini yang tengah disewa konsesi tambang.
Tebing itulah yang runtuh, Jumat menjelang tengah malam. "Perkiraan jam 23.30 WIB kalau melihat foto dari tetangga yang memfoto saya kondisi basah itu," kata Jumini.
Rumah gebyok bagian belakang roboh. Dinding kayu hingga kamar mandi dari rusak berat. Semua perabotan hancur terkubur. Nyaris tidak ada yang bisa dimanfaatkan.
Surat berharga, surat pensiun suaminya, perabotan yang dibikin sendiri, baju, uang, hingga emas tidak ditemukan. “Kerugian bisa ratusan juta," kata Jumini pasrah.
Jumini mengaku sebenarnya tidak sepenuhnya berani hidup sendiri di sana. Kedua anaknya sudah berulang kali memaksa dirinya untuk tinggal bersama mereka di kota.
Baca juga: 7 Tiang Listrik di Kulon Progo Patah karena Longsor, 1 Dusun Gelap Sejak Jumat
Jumini mengatakan tidak siap meninggalkan rumah penuh kenangan bersama suaminya.
Ia masih mengingat bagaimana Waidi banting tulang dengan keahlian perkayuan membuat banyak barang, hingga akhirnya diterima sebagai pegawai negeri di dinas tenaga kerja dan transmigrasi. Namun, Waidi terlalu cepat dipanggil Tuhan.
"Bukan bondho (harta) yang saya berat hati meninggalkan semua ini, tapi kenangan rumah ini begitu banyak. Dari kami hidup susah lalu bisa berhasil," kata Jumini sambil menangis. Ia menegaskan, kenangan itu tidak ternilai.
Kini, ia mengingat lagi bagaimana kenangan terbesar sejatinya adalah bersama anak dan cucu. Karena itu ia berniat akan tinggal bersama salah seorang di antaranya di kota. Sesekali nanti, lansia ini akan menengok rumah.
Sementara itu, bantuan terus mengalir ke rumahnya. Terutama dari warga pedukuhan dan kalurahan.
Ia menerima bantuan sembako lewat Dukuh (kepala dusun) setempat hingga kementerian sosial.
Semuanya diterima sambil ia terus berupaya menyelamatkan barang yang masih bisa diselamatkan.