YOGYAKARTA, KOMPAS.com- Generasi yang lahir pada 1960-an sampai 1980-an mungkin jamak dengan minyak goreng yang terbuat dari kelapa atau sering disebut 'Klentik'
Di Gunungkidul, salah satunya yang masih setia dengan profesi pembuatan minyak kelapa adalah Tumi.
Wanita yang berusia 70 tahun ini mengaku sudah sekitar 50 tahunan menekuni profesi sebagai pembuat minyak dari kelapa yang diparut.
Baca juga: Ganjar Pastikan Akan Ada Operasi Pasar Minyak Goreng Rutin di Seluruh Jateng
Meski demikian, dia saat ini tak setiap hari membuat minyak kelapa karena usia rentanya. '
"Kadang setiap hari, kadang dua hari sekali, maklum sudah tua. Dulu waktu suami saya masih hidup setiap hari bikin minyak bahkan kelapa 1.000 butir hanya setengah bulan," kata Demi ditemui di rumahnya Padukuhan Gedangsari, Kalurahan Baleharjo. Kapanewon Wonosari, Rabu (23/2/2022).
Sekali membuat minyak, sekarang Tumi hanya sekitar 50 butir kelapa, setelah diproses akan menghasilkan sekitar 3 liter minyak goreng.
Cara pembuatan minyak goreng kelapa ini diperolehnya secara turun temurun.
Prosesnya cukup panjang dan melelahkan, jika mulai pukul 07.00 WIB selesainya sekitar pukul 15.00 WIB, dan jika yang diolah sekitar 100 butir bisa sampai pukul 18.00 WIB.
Untuk prosesnya, kelapa diparut, kemudian diambil santannya, lalu santannya dimasak, diaduk terus menerus hingga akhirnya mengental menjadi disebut 'blondo'.
Santan diolahnya menggunakan tungku yang bersumber dari kayu bakar, setiap hari dirinya berjibaku mengaduk sambil membetulkan kayu agar nyala apinya tetap.
Lalu blondo itu diperas menggunakan kain diambil minyaknya di dapur yang masih berlantai tanah miliknya.
"Sebelum punya mesin parut kelapa, suami saya yang memarut kelapa dengan tangan, suami saya sekarang sudah meninggal, saat ini saya dibantu anak saya," kata Tumi.
Botol 1,5 liter dijual Rp 125.000 perbotol. Sementara untuk Blondonya dijual Rp 80.000 per kilogramnya.
Tumi menceritakan pelanggan minyaknya berasal dari warga terutama pegawai, selain itu penjual bakmi.
Baca juga: Ganjar soal Keluhan Minyak Goreng Langka: Jangan Ada Penimbunan, Beli Secukupnya
Untuk blondo dibeli warung makan yang biasanya menjual gudeg.
"Bahkan dari Solo ada 2 bulan sekali datang membeli 2 botol besar (1,5 liter)," kata Tumi.
Tak hanya untuk memasak, Tumi juga mengemas minyak kelapa menggunakan plastik ukuran kecil yang dijualnya Rp 8.000 perkantong.
Minyak ini digunakan untuk minyak rambut, biasanya dititipkan pedagang sayur.
Tumi menjual minyak sudah menjualnya di Pasar Argosari, Wonosari, berangkat dari rumah pukul 03.00 WIB.
Jika beruntung, pukul 07.00 WIB sudah habis, tetapi jika kurang laku kadang sampai siang hari.
Baca juga: Ketika Warga Kota Malang Harus Membawa Fotokopi KTP untuk Membeli Minyak Goreng...
Di tengah langkanya minyak kelapa sawit memang mempengaruhi sedikit penjualan minyaknya.
Namun peningkatan paling tinggi saat hari raya Idul Fitri, permintaan bisa meningkat cukup banyak, terutama blondo.
"Sekarang lakunya tanggal muda, para pegawai yang biasanya. Kalau tanggal tua pasarnya sepi," kata dia.
Disinggung mengenai apakah dirinya setiap hari juga menggunakan minyak kelapa, Tumi mengaku jarang.
Minyak kelapa hanya digunakan saat menggoreng tempe atau tahu bacem, dan telur.
"Ya kalau goreng krupuk pakai minyak kelapa mau habis berapa," ucap Tumi sambil tertawa.
Baca juga: Demi Minyak Goreng Murah, Sebagian Warga di Bandung Bolak-balik hingga 3 Kali Antre
Salah seorang pembeli Fajar mengaku baru mengetahui ada pembuatan minyak kelapa di Wonosari.
"Buat goreng telor juga rasanya lebih gurih," kata Fajar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.