Turunnya hujan membuat masyarakat dan penguasa setempat sangat senang.
Masyarakat yang sudah lama tidak menemui air seakan menemukan perhiasan emas dengan turunnya air hujan ini.
Sebagian dari mereka ada berseru “banyu… banyu..” saking senangnya. Sedangkan sebagian lain ada yang berseru “emas… emas…”
Sahut-sahutan masyarakat yang euforia dengan turunnya hujan itu lama kelamaan terdengar “banyu-emas, banyu-emas”.
Sehingga daerah tersebut mulai dikenal dengan nama Banyumas.
Adapun pemerintahan lokal di Banyumas sendiri sudah berdiri sejak zaman Majapahit, dengan penguasa yang terkenal yaitu Adipati Wirasaba Marga Utama (Kaduhu).
Pada zaman Demak, wilayah Banyumas itu kemudian dipimpin oleh seorang kepercayaan Raden Patah yang bernama Adipati Pasirluhur Pangeran Senapati Mangkubumi I.
Konon dua penguasa ini memiliki orientasi budaya yang berbeda. Wirasaba berorientasi Jawa, sementara Pasirluhur berorientasi Sunda.
Dari keduanya inilah kemudian lahir corak budaya Banyumasan, yang merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Sunda.
Adapun Kabupaten Banyumas secara modern mulai berdiri pada abad ke-16 Masehi, tepatnya saat kejayaan Kesultanan Pajang.
Saat itu, terjadi kesalahpahaman antara Sultan Hadiwijaya dari Pajang dengan Adipati Wirasaba ke-6 dari Wirasaba. Kesalahpahaman itu membuat Adipati Wirasaba meninggal dunia.
Sultan yang merasa bersalah akhirnya memanggil keturunan Adipati Wirasaba.
Namun panggilan itu tidak kunjung dijawab, karena para keturunan Adipati Wirasaba merasa takut akan dicelakakan.
Baca juga: Lokawisata Baturraden: Legenda, Jenis Wisata, dan Harga Tiket Masuk
Hingga kemudian salah seorang menanti Adipati Wirasaba VI yang bernama Raden Joko Kahiman pun memberanikan diri menghadap ke Pajang.
Sebelumnya, para Joko Kahiman dan saudara-saudaranya sudah sepakat bahwa apapun yang terjadi akan ditanggung sendiri baik atau buruknya.