Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bakmie Legendaris Yogyakarta, Bakmie Ketandan Bertahan Sejak Tahun 1950

Kompas.com, 4 Februari 2022, 20:46 WIB
Wisang Seto Pangaribowo,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Asep Kamil (53) generasi ke tiga penerus usaha Bakmie Ketandan mulai beraktivitas memproduksi mi telur sejak pukul 04.00.

Pagi buta ia bersama adik Agus Mulyono dan adik iparnya mempersiapkan dapur pengolahan mi telur.

Dibantu dengan beberapa karyawan produksi bakmie dimulai.

Produksi dari mulai mencampur bahan-bahan mie seperti, menguleni, memasak pada sebuah kompur tungku berukuran sedang, hingga mendinginkan mi.

Baca juga: Viral, Pedagang Bakso Pura-pura Jatuh lalu Minta Uang ke Warga, Berharap Belas Kasihan

Bakmie Ketandan buka sejak pukul 06.00 pagi hingga pukul 12.00 siang.

Pelanggannya bermacam-macam mulai dari ibu rumah tangga yang membeli mi eceran, hingga pengusaha-pengusaha bakmie Jawa di Kota Yogyakarta yang mengambil mi dari hasil produksi Bakmie Ketandan.

Dapur produksinya tak terlalu besar, dapur ini dipenuhi dengan puluhan sak terigu yang ditumpuk menjadi beberapa bagian.

Tak hanya sak terigu, dapur juga dipenuhi dengan berjerigen-jerigen minyak goreng. Jejeran minyak goreng diletakkan di samping tumpukan sak terigu.

Di tengah tiga karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing, satu orang bertugas untuk merebus adonan mi sedangkan dua orang bertugas mendinginkan mi.

Mi dari tungku ditiriskan dengan menggunakan nampan berbahan bambu, lalu mulai dilumuri minyak goreng oleh salah satu karyawan, dan didinginkan dengan kipas angin berukuran besar.

Pelanggan setia mi Ketandan mulai berdatangan pada pukul 08.30 mereka antre untuk dilayani satu persatu, Asep dan adiknya bertugas membungkus mi pada sebuah plastik.

Adiknya terlihat sibuk menimbang mi sesuai dengan pesanan pelanggan, sedangkan adik iparnya bertugas sebagai kasir.

Resep turun temurun

Asep (kaos hijau) saat berada di dapur produksi mie ketandan di Kota Yogyakarta, Jumat (4/2/2022)KOMPAS.COM/WISANG SETO PANGARIBOWO Asep (kaos hijau) saat berada di dapur produksi mie ketandan di Kota Yogyakarta, Jumat (4/2/2022)

Resep yang digunakan dalam pembuatan mie tetap dipertahankan, resep turun menurun ini didapat dari sang kakek perintis pertama Bakmie Ketandan. 

Walaupun sekarang merek tepung yang digunakan berbeda, tetapi Asep memastikan kalau mi buatannya tidak menggunakan bahan pengawet sama sekali.

Walaupun tidak ada papan nama dan lokasinya menyelip di gang depan kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) para pelanggan tetap setia berdatangan.

"Usaha ini dari simbah dari tahun 50-an sudah generasi ketiga, kemarin saat pandemi ya pengaruh saat PPKM itu kan konsumen kami pada jualan malam tutupnya gasik (cepat) ambilnya ya dikurangi," kata Asep, Jumat (4/2/2022).

Baca juga: Kasus Covid-19 Meningkat di DI Yogyakarta, Sekolah Lebih dari 200 Siswa Diminta PTM 50 Persen

Setiap harinya dapur ini menghabiskan 25 sak tepung terigu sebagai bahan dasar pembuatan mi. Satu sak tepung terigu seberat 25 kilogram.

"Ada bahan tertentu sudah enggak ada kami ya ngakali yang hampir sama, kalau kami bikin kaya dahulu, nilai jualnya terlalu tinggi. Kalau saingan kalah," kata dia.

Satu kilo mi telur dijual seharga Rp 12.500. Harga ini baru saja naik imbas naiknya harga minyak goreng di pasaran.

Mau tidak mau Asep harus menaikkan harga agar menutup ongkos produksinya.

"Minyak goreng naik, gas naik, tepung semua naik. Per kilo kalau untuk bakul Rp 11.500 kalau eceran Rp 12.500. Rata-rata tiap harinya bisa menjual 8 kwintal," kata dia.

Pembeli hanya sekitar dari Yogyakarta karena mi buatannya tidak awet lama, sehingga saat beli pelanggan harus segera mengolahnya kembali.

Kalau tidak habis dalam sekali masak dirinya menyarankan untuk memasukkan mi ke dalam kulkas.

Baca juga: Bertemu Ganjar, Kontraktor Gedung SMA Negeri Tawangmangu Janjikan Ini

"Ini kan enggak awet, kalau enggak habis ya bisa masukkan kulkas. Bahan-bahan baku enggak pakai pengawet," kata dia.

Saat ini dapur mi ketandan sudah menggunakan mesin pengaduk dan pemotong.

Asep bercerita sebelum menggunakan mesin dulunya masih memakai bambu untuk mengaduk dan akan memakan banyak waktu dalam produksi.

"Kalau pakai manual terlalu lama," ucap dia.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Penyu Lekang Terdampar Lemas di Pantai Glagah, Satlinmas: Kurus, Berenangnya Tak Normal
Penyu Lekang Terdampar Lemas di Pantai Glagah, Satlinmas: Kurus, Berenangnya Tak Normal
Yogyakarta
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau