Ketiga nama tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai.
Namun, Indische Partij tidak mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda. Soewardi lantas mendirikan Komite Boemipoetra pada tahun 1913.
Komite Boemipoetra ini didirikan sebagai tandingan dari Komite Perayaan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda.
Saat itu, Belanda berniat menggelar perayaan besar-besaran untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan mereka dari Prancis.
Baca juga: Alasan Ki Hajar Dewantara Dikenal sebagai Bapak Pendidikan
Rencana tersebut ditolak oleh Soewardi. Dia bahkan mengkritik perayaan itu dengan tulisannya yang berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was”, atau Andai Aku Seorang Belanda.
Dalam tulisan itu, Soewardi berandai-andai jika menjadi orang Belanda maka dia tidak akan mengadakan perayaan kemerdekaan di negeri yang dijajah.
Akibat dari tulisan itu, Soewardi ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Pembuangan itu diprotes oleh Ciptomangunkusumo dan Douwes Dekker.
Belanda kemudian menangkap dua orang itu, dan ketiga tokoh tersebut akhirnya dibuang ke negeri Belanda.
Sepulang dari pengasingan, Soewardi mendirikan perguruan bercorak nasional.
Nama perguruan itu National Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa).
Taman Siswa didirikan pada tahun 3 Juli 1922. Pada tanggal tersebut pula Soewardi mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.
Tak hanya mengubah nama, Ki Hajar Dewantara juga menanggalkan gelar kebangsawanannya dengan tujuan agar bisa lebih dekat dengan rakyat.
Ki Hajar Dewantara juga mencetuskan semboyan pendidikan yang masih diterapkan hingga saat ini.
Baca juga: Ini 5 Pahlawan Nasional yang Berjuang seperti Ki Hajar Dewantara
Semboyan itu berbahasa Jawa yang bunyinya “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Arti semboyan tersebut: “Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, sementara di belakang memberi dukungan”.