Pada 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia (PPKI) membentuk
Badan Keamanan Rakyat (BPR). Sudirman dan rekannya sesama tentara PETA mendirikan
cabang BPR di Banyumas pada akhir Agustus.
Sudirman berusaha menghimpun kekuatan BKR. Bersama, Residen Banyumas Iskaq
Tjokroadisurjo dan beberapa tokoh lain, dia melakukan perebutan kekuasaan dari
Jepang secara damai.
Komandan Batalyon Tentara Jepang, Mayor Yuda menyerahkan senjata cukup banyak.
Karena itu, BKR Banyumas merupakan kesatuan yang memiliki senjata lengkap.
Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, Sudirman diangkat menjadi
Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat kolonel.
Melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Sudirman terpilih menjadi
Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Saat ini, Sudirman mulai
menderita tuberkulosis.
Perang besar pertama yang dipimpin Sudirman adalah perang Palagan Ambarawa
melawan pasukan Inggris dan NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) Belanda.
Perang berlangsung pada November hingga Desember 1945. Pada 12 Desember 1945,
Sudirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa.
Baca juga: Patung Jenderal Sudirman, Dibangun Pakai Uang Urunan hingga Kontroversi Tangan Menghormat
Upaya Sudirman tidak sia-sia, pertempuran selama lima hari berhasil memukul
mundur pasukan Inggris ke Semarang.
Setelah kemenangan Sudirman dalam Palagan Ambarawa, pada 18 Desember 1945,
Sudirman dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno.
Pangkat Jenderal tersebut tidak diperoleh melalui sistem Akademi Militer
atau pendidikan lainnya namun melalui prestasinya. Itulah bedanya Sudirman
dengan yang lain.
Saat berada di Yogyakarta, penyakit yang diderita Sudirman menjadi parah.
Paru-parunya yang berfungsi hanya satu.
Yogyakarta dikuasai Belanda walaupun sempat dikuasai Indonesa.
Saat itu, Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta serta beberapa tokoh anggota
kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda.
Karena situasi genting, Sudirman dengan tandu berangkat bersama pasukannya
dan kembali melakukan gerilya.
Baca juga: Bagaimana Strategi Perang Jenderal Sudirman Ketika Melawan Belanda?
Ia berpindah-pindah selama tujuh bulan, dari hutan satu ke hutan lainnya
maupun dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah. Bahkan, dia
dalam kondisi hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis.