KOMPAS.com - Pasar Beringharjo tak bisa dilepaskan dari denyut kehidupan ekonomi masyarakat Yogyakarta.
Pasar tersebut berada di jantung Kota Yogyakarta tepatnya di Jalan Pabringan No 1 di ujung selatan Jalan Malioboro dan berdekatan dengan Benteng Vredeburg serta Taman Budaya.
Berada di pusat kota, tak heran jika pasar ini menjadi salah satu tujuan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Salah satunya adalah untuk wisata kuliner dan berbelanja batik.
Baca juga: Jokowi Tinjau Vaksinasi Covid-19 Pedagang Pasar Beringharjo Yogyakarta
Wilayah tersebut kemudian menjadi tempat transaksi ekonomi setelah Kesultanan Ngayogyakarta berdiri pada tahun 1758.
Ratusan tahun kemudian pihak keraton membangun sebuah pasar di wilayah tersebut.
Lalu pada 24 Maret 1925, keraton menugaskan Nederlansch Indisch Beton Maatschappij (Perusahaan Beton India Belanda) untuk membangun 11 kios untuk los-los di pasar tersebut.
Pada akhir Agustus 1925, sudah ada 11 kios yang diselesaikan di wilayah tersebut.
Baca juga: Menkes Targetkan Pedagang Pasar Beringharjo Yogyakarta Disuntik Vaksin Covid-19 1 Maret
Kala itu beliau meminta agar semua instansi di bawah naungan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menggunakan bahasa Jawa.
Nama Beringharjo digunakan karena daerah tersebut awalnya adalah hutan beringin (bering).
Sementara kata harjo berarti kesejahteraan. Sehingga diharapkan Pasar Beringharjo memebawa kesejahteran. Selain itu beringin juga menjadi simbol kebesaran dan pengayoman bagi banyak orang.
Baca juga: Tradisi Sarapan Para Raja di Keraton Yogyakarta, dari Teh, Susu Cokelat hingga Gudeg
Bangunan Pasar Beringharjo adalah perpaduan antara arsitektur kolonial dan tradisional Jawa.
Pasar tersebut terbagi dua yakni bagian barat dan timur. Di bagian timur terdiri dari tiga lantai
Sementara di bagian barat terdapat bangunan utama yang terdiri dari dua lantai. Selain itu ada pintu masuk utama pasar yang menghadap ke Jalan Malioboro.