KULON PROGO, KOMPAS.com – Marjilah (68) tersenyum lebar di rumahnya yang berada di Pedukuhan Nglinggo Timur, Kalurahan Pagerharjo, Kapanewon Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tampak giginya yang masih berjajar rapi ketika tertawa.
Ia tersenyum sambil mengungkap hasil tiap bulan dari salah satu tanahnya yang terpakai jadi tempat parkir wisata di Bukit Menoreh. Dulunya, ada beberapa pohon teh di situ.
“Dapat hasil sedikit, tapi tanah itu masuk wilayah Magelang. Jadi parkiran. Hasilnya manut keadaan. Setiap tanggal 2 dikasih Rp 2 – 3 juta. Sangat bersyukur, alhamdulilah,” kata Marjilah, Kamis (27/7/2023).
Baca juga: Buruh Perkebunan Sawit di Ketapang Digigit Buaya Selama 90 Menit, Diselamatkan oleh Temannya
Kebun teh Nglinggo berada pada ketinggian 700-1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kebun masyarakat itu muncul di sekitar tahun 1990-an.
Marjilah mengingat bagaimana dulu di situ berupa lahan jagung, pohon aren hingga pohon kopi, sebelum menjadi kebun teh. Menurutnya, warga ikut anjuran untuk menanam teh yang digambarkan akan meningkatkan kesejahteraan petani.
Warga, termasuk dirinya, memangkas semua pohon demi kebun teh. Ia bersama Sudiro, suaminya, ikut pembibitan di 1989 dan penanaman teh di 1990. Lalu panen teh perdana di lahannya pada 1992. Ia memperkirakan punya ribuan pohon teh saat ini.
Produksi teh memang besar pada tahun-tahun awal panen. Banyak warga bergembira, sementara yang tak ikut menanam hanya bisa gigit jari.
Dalam perjalanan waktu, petani teh seperti dirinya merasa hasil dari teh mulai tidak menggembirakan. Hal ini karena harga kebutuhan rumah tangga cepat sekali merangkak naik. Sementara harga beli perusahaan pada daun teh petani tidak sigap mengikuti.
Marjilah mengaku, mereka pernah Rp 500 per kilogram, naik jadi Rp 1.000 per kg. Kemudian menjadi Rp 1.500 hingga kini Rp 2.500 per kg.
“Padahal apa-apa pakai uang, apalagi yang tidak terduga itu. Orang manten (menikah), sripah (lelayu), bayar obat kalau sakit,” kata Marjilah.
“Lama-lama semua mahal,” katanya.
Banyak yang kecewa, kata Marjilah. Harga beli perusahaan setara ongkos produksi, bayaran sering telat, yang kecewa nekat merombak kebun teh.
“(Sejak itu) sebetulnya tidak ada senangnya dari teh,” kata Marjilah.
Walau begitu, Marjilah dan suaminya tetap bertahan. Apalagi pemerintah tetap campur tangan agar petani bertahan. Mulai dari sering mengkontrol dan menyalurkan pupuk. Selain itu, banyak teman di perkebunan.
Dia mengakui bahwa kerja memetik teh membutuhkan waktu yang panjang. Marjilah bisa memetik 15 kilogram daun teh dalam satu hari atau 40-60 kg dalam seminggu. Itu sama dengan setidaknya penghasilan Rp 100.000 – 150.000 per minggu.