Semua bisa menghasilkan teh sangrai atau produksi rumahan sendiri Rp 60.000-70.000 per kilogram. Teh sangrai kemudian dijual ke pasar tradisional.
Marjilah biasa turun ke kebun setiap Senin-Kamis, pagi hingga menjelang tengah hari. Selebihnya hari untuk merawat kebun, atau cari pakan ternak, mengolah teh, atau mengandalkan hasil kebun lainnya.
Baca juga: Cerita Pria di Klaten Wisuda S1 di Usia 56 Tahun: Anak Pertama Saya S3 di Malaysia
Musim panas juga salah satu masa sulit bagi kebun teh. Pucuk daun muda tidak tumbuh semestinya. Karenanya, di musim kering seperti sekarang, Marjilah hanya memetik satu kali dalam tiga pekan.
Seiring pesatnya media sosial, kebun teh mulai menarik bagi wisatawan. Wisatawan mengeksploitasi panorama kebun teh yang terawat baik oleh petani.
Pemandangan dari kebun teh Nglinggo berupa panorama ketinggian dan matahari terbit. Bahkan di satu sisi bukit bisa melihat Candi Borobudur di kejauhan. Kebun teh ini kemudian jadi destinasi wisata.
Marjilah belum lama ini menerima rezeki besar dari kemajuan pariwisata lokal. Pasalnya, salah satu kebunnya yang masuk wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terpotong untuk area parkir belum lama ini.
Baca juga: Kisah Emak-emak Majalengka Buat Grup Musik Mother Bank, Berawal dari Jeratan Bank Emok
Keluarga Marjilah menerima rata-rata Rp 2 juta setiap bulan dari lahan parkir itu. Itu pula yang membuatnya akan terus bertahan menjadi petani teh.
“Teh macet sekarang karena musim panas. Petik hanya satu kali tiga minggu. Hasil lain sedikit, dari kopi dan kelapa. Belum lagi bayaran dari perusahaan juga sedang macet. (Uang dari parkir) ini menolong,” kata Marjilah.
Situasi mirip dirasakan pemetik teh bernama Supariyah atau Supar (48) asal Pedukuhan Ngentak, Pagerharjo. Supar biasa berkendara setengah jam dari rumahnya yang dekat perbatasan Purworejo ke kebun teh.
Supar sudah empat tahun bekerja menjadi buruh lepas pemetik teh. Dia sebelumnya bekerja di perusahaan pengolahan teh selama 10 tahun.
Ia hafal pucuk daun yang mana yang harus dipetik untuk menghasilkan teh hijau, teh hitam, teh merah, atau teh matcha yang berbentuk bubuk. Supar biasa memetik mulai dari pukul 07.00 hingga 12.00 WIB untuk menghasilkan 30 kg daun teh.
Ia menyukai bekerja jadi pemetik teh karena waktu kerja pendek yakni hanya Senin sampai Kamis. Sehingga membuat dirinya bisa bekerja lainnya. Ia bekerja untuk diri sendiri, karena empat anaknya sudah bekerja di berbagai kota.
“Setiap hari perusahaan datang ambil teh di tempat penampungan-penampungan. Dibawa pakai truk sekitar jam 13.00 WIB,” kata Supar di rumahnya.
Baca juga: Cerita Wali Kota soal Kebun Raya Mangrove Surabaya: Dulu Berdarah-darah Dipertahankan Bu Risma
Supar dibayar sedikitnya Rp 1.000 per kg daun teh. Karena bayaran tidak seberapa , ia harus memastikan hasil dari memetik teh bisa lebih dari tinggi dari ongkos yang dikeluarkan untuk bekerja.
“Pergi ke sana kan bensin saja Rp 15.000. Karena itu biasanya bisa memetik sekitar 30 kg (satu hari) baru masih punya sisa,” kata Supariyah.