Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebun Teh Nglinggo, Dulu Berjaya, Kini Tak Lagi Menggembirakan

Kompas.com - 30/07/2023, 23:19 WIB
Dani Julius Zebua,
Dita Angga Rusiana

Tim Redaksi

Semua bisa menghasilkan teh sangrai atau produksi rumahan sendiri Rp 60.000-70.000 per kilogram. Teh sangrai kemudian dijual ke pasar tradisional.

Marjilah biasa turun ke kebun setiap Senin-Kamis, pagi hingga menjelang tengah hari. Selebihnya hari untuk merawat kebun, atau cari pakan ternak, mengolah teh, atau mengandalkan hasil kebun lainnya.

Baca juga: Cerita Pria di Klaten Wisuda S1 di Usia 56 Tahun: Anak Pertama Saya S3 di Malaysia

Musim panas juga salah satu masa sulit bagi kebun teh. Pucuk daun muda tidak tumbuh semestinya. Karenanya, di musim kering seperti sekarang, Marjilah hanya memetik satu kali dalam tiga pekan. 

Seiring pesatnya media sosial, kebun teh mulai menarik bagi wisatawan. Wisatawan mengeksploitasi panorama kebun teh yang terawat baik oleh petani.

Pemandangan dari kebun teh Nglinggo berupa panorama ketinggian dan matahari terbit. Bahkan di satu sisi bukit bisa melihat Candi Borobudur di kejauhan. Kebun teh ini kemudian jadi destinasi wisata.

Marjilah belum lama ini menerima rezeki besar dari kemajuan pariwisata lokal. Pasalnya, salah satu kebunnya yang masuk wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terpotong untuk area parkir belum lama ini. 

Baca juga: Kisah Emak-emak Majalengka Buat Grup Musik Mother Bank, Berawal dari Jeratan Bank Emok

Keluarga Marjilah menerima rata-rata Rp 2 juta setiap bulan dari lahan parkir itu. Itu pula yang membuatnya akan terus bertahan menjadi petani teh. 

“Teh macet sekarang karena musim panas. Petik hanya satu kali tiga minggu. Hasil lain sedikit, dari kopi dan kelapa. Belum lagi bayaran dari perusahaan juga sedang macet. (Uang dari parkir) ini menolong,” kata Marjilah.

Situasi mirip dirasakan pemetik teh bernama Supariyah atau Supar (48) asal Pedukuhan Ngentak, Pagerharjo. Supar biasa berkendara setengah jam dari rumahnya yang dekat perbatasan Purworejo ke kebun teh. 

Supar sudah empat tahun bekerja menjadi buruh lepas pemetik teh. Dia sebelumnya bekerja di perusahaan pengolahan teh selama 10 tahun.  

Ia hafal pucuk daun yang mana yang harus dipetik untuk menghasilkan teh hijau, teh hitam, teh merah, atau teh matcha yang berbentuk bubuk. Supar biasa memetik mulai dari pukul 07.00 hingga 12.00 WIB untuk menghasilkan 30 kg daun teh. 

Ia menyukai bekerja jadi pemetik teh karena waktu kerja pendek yakni hanya Senin sampai Kamis. Sehingga membuat dirinya bisa bekerja lainnya. Ia bekerja untuk diri sendiri, karena empat anaknya sudah bekerja di berbagai kota. 

“Setiap hari perusahaan datang ambil teh di tempat penampungan-penampungan. Dibawa pakai truk sekitar jam 13.00 WIB,” kata Supar di rumahnya.

Baca juga: Cerita Wali Kota soal Kebun Raya Mangrove Surabaya: Dulu Berdarah-darah Dipertahankan Bu Risma

Supar dibayar sedikitnya Rp 1.000 per kg daun teh. Karena bayaran tidak seberapa , ia harus memastikan hasil dari memetik teh bisa lebih dari tinggi dari ongkos yang dikeluarkan untuk bekerja.

“Pergi ke sana kan bensin saja Rp 15.000. Karena itu biasanya bisa memetik sekitar 30 kg (satu hari) baru masih punya sisa,” kata Supariyah.

Halaman:


Terkini Lainnya

Luncurkan Indonesia Heritage Agency, Nadiem: Jadikan Museum dan Cagar Budaya Tujuan Wisata Edukasi

Luncurkan Indonesia Heritage Agency, Nadiem: Jadikan Museum dan Cagar Budaya Tujuan Wisata Edukasi

Yogyakarta
Dipecat dan Tak Diberi Uang Layak, Pria di Kulon Progo Curi Rp 35 Juta Uang Kantor

Dipecat dan Tak Diberi Uang Layak, Pria di Kulon Progo Curi Rp 35 Juta Uang Kantor

Yogyakarta
Sleman Masih Kekurangan Ribuan Hewan Kurban untuk Idul Adha

Sleman Masih Kekurangan Ribuan Hewan Kurban untuk Idul Adha

Yogyakarta
Keluarga Jadi Korban Keracunan Massal di Gunungkidul, Adrian: Makan Mi dan Daging

Keluarga Jadi Korban Keracunan Massal di Gunungkidul, Adrian: Makan Mi dan Daging

Yogyakarta
Optimalisasi Pembenahan Museum dan Cagar Budaya Melalui Indonesia Heritage Agency

Optimalisasi Pembenahan Museum dan Cagar Budaya Melalui Indonesia Heritage Agency

Yogyakarta
Diare Massal di Gunungkidul, 89 Warga Diduga Keracunan Makanan di Acara 1.000 Hari Orang Meninggal

Diare Massal di Gunungkidul, 89 Warga Diduga Keracunan Makanan di Acara 1.000 Hari Orang Meninggal

Yogyakarta
Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta Siapkan Layanan Wisata Malam, Ini Jadwal dan Perinciannya...

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta Siapkan Layanan Wisata Malam, Ini Jadwal dan Perinciannya...

Yogyakarta
Pelajar di Sleman Dipukuli Saat Berangkat Sekolah, Polisi Sebut Pelaku Sudah Ditangkap

Pelajar di Sleman Dipukuli Saat Berangkat Sekolah, Polisi Sebut Pelaku Sudah Ditangkap

Yogyakarta
Wacana Pembongkaran Separator di Ring Road Yogyakarta Batal, Ini Alasannya

Wacana Pembongkaran Separator di Ring Road Yogyakarta Batal, Ini Alasannya

Yogyakarta
Mengenal Apa Itu Indonesia Heritage Agency yang Akan Diluncurkan Nadiem Makarim di Yogyakarta

Mengenal Apa Itu Indonesia Heritage Agency yang Akan Diluncurkan Nadiem Makarim di Yogyakarta

Yogyakarta
Prakiraan Cuaca Yogyakarta Hari Ini Kamis 16 Mei 2024, dan Besok : Cerah Berawan Sepanjang Hari

Prakiraan Cuaca Yogyakarta Hari Ini Kamis 16 Mei 2024, dan Besok : Cerah Berawan Sepanjang Hari

Yogyakarta
Prakiraan Cuaca Solo Hari Ini Kamis 16 Mei 2024, dan Besok : Cerah Berawan Sepanjang Hari

Prakiraan Cuaca Solo Hari Ini Kamis 16 Mei 2024, dan Besok : Cerah Berawan Sepanjang Hari

Yogyakarta
Seorang Pemuda Kuras Tabungan Pensiunan Guru Senilai Rp 74,7 Juta, Modusnya Pura-pura Jadi Pegawai Bank

Seorang Pemuda Kuras Tabungan Pensiunan Guru Senilai Rp 74,7 Juta, Modusnya Pura-pura Jadi Pegawai Bank

Yogyakarta
Penyu Lekang Ditemukan Mati di Bantul, Diduga akibat Makan Sampah Plastik

Penyu Lekang Ditemukan Mati di Bantul, Diduga akibat Makan Sampah Plastik

Yogyakarta
Buang Sampah Sembarangan, Warga Sleman Didenda Rp 1 Juta

Buang Sampah Sembarangan, Warga Sleman Didenda Rp 1 Juta

Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com