Salin Artikel

Kebun Teh Nglinggo, Dulu Berjaya, Kini Tak Lagi Menggembirakan

Ia tersenyum sambil mengungkap hasil tiap bulan dari salah satu tanahnya yang terpakai jadi tempat parkir wisata di Bukit Menoreh. Dulunya, ada beberapa pohon teh di situ.

“Dapat hasil sedikit, tapi tanah itu masuk wilayah Magelang. Jadi parkiran. Hasilnya manut keadaan. Setiap tanggal 2 dikasih Rp 2 – 3 juta. Sangat bersyukur, alhamdulilah,” kata Marjilah, Kamis (27/7/2023).

Kebun teh Nglinggo berada pada ketinggian 700-1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kebun masyarakat itu muncul di sekitar tahun 1990-an. 

Marjilah mengingat bagaimana dulu di situ berupa lahan jagung, pohon aren hingga pohon kopi, sebelum menjadi kebun teh. Menurutnya, warga ikut anjuran untuk menanam teh yang digambarkan akan meningkatkan kesejahteraan petani. 

Warga, termasuk dirinya, memangkas semua pohon demi kebun teh. Ia bersama Sudiro, suaminya, ikut pembibitan di 1989 dan penanaman teh di 1990. Lalu panen teh perdana di lahannya pada 1992. Ia memperkirakan punya ribuan pohon teh saat ini.

Produksi teh memang besar pada tahun-tahun awal panen. Banyak warga bergembira, sementara yang tak ikut menanam hanya bisa gigit jari. 

Marjilah mengaku, mereka pernah Rp 500 per kilogram, naik jadi Rp 1.000 per kg. Kemudian menjadi Rp 1.500 hingga kini Rp 2.500 per kg. 

“Padahal apa-apa pakai uang, apalagi yang tidak terduga itu. Orang manten (menikah), sripah (lelayu), bayar obat kalau sakit,” kata Marjilah.

“Lama-lama semua mahal,” katanya.

Banyak yang kecewa, kata Marjilah. Harga beli perusahaan setara ongkos produksi, bayaran sering telat, yang kecewa nekat merombak kebun teh. 

“(Sejak itu) sebetulnya tidak ada senangnya dari teh,” kata Marjilah.

Walau begitu, Marjilah dan suaminya tetap bertahan. Apalagi pemerintah tetap campur tangan agar petani bertahan. Mulai dari sering mengkontrol dan menyalurkan pupuk. Selain itu, banyak teman di perkebunan.

Dia mengakui bahwa kerja memetik teh membutuhkan waktu yang panjang. Marjilah bisa memetik 15 kilogram daun teh dalam satu hari atau 40-60 kg dalam seminggu. Itu sama dengan setidaknya penghasilan Rp 100.000 – 150.000 per minggu. 

Semua bisa menghasilkan teh sangrai atau produksi rumahan sendiri Rp 60.000-70.000 per kilogram. Teh sangrai kemudian dijual ke pasar tradisional.

Marjilah biasa turun ke kebun setiap Senin-Kamis, pagi hingga menjelang tengah hari. Selebihnya hari untuk merawat kebun, atau cari pakan ternak, mengolah teh, atau mengandalkan hasil kebun lainnya.

Musim panas juga salah satu masa sulit bagi kebun teh. Pucuk daun muda tidak tumbuh semestinya. Karenanya, di musim kering seperti sekarang, Marjilah hanya memetik satu kali dalam tiga pekan. 

Seiring pesatnya media sosial, kebun teh mulai menarik bagi wisatawan. Wisatawan mengeksploitasi panorama kebun teh yang terawat baik oleh petani.

Pemandangan dari kebun teh Nglinggo berupa panorama ketinggian dan matahari terbit. Bahkan di satu sisi bukit bisa melihat Candi Borobudur di kejauhan. Kebun teh ini kemudian jadi destinasi wisata.

Marjilah belum lama ini menerima rezeki besar dari kemajuan pariwisata lokal. Pasalnya, salah satu kebunnya yang masuk wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terpotong untuk area parkir belum lama ini. 

Keluarga Marjilah menerima rata-rata Rp 2 juta setiap bulan dari lahan parkir itu. Itu pula yang membuatnya akan terus bertahan menjadi petani teh. 

“Teh macet sekarang karena musim panas. Petik hanya satu kali tiga minggu. Hasil lain sedikit, dari kopi dan kelapa. Belum lagi bayaran dari perusahaan juga sedang macet. (Uang dari parkir) ini menolong,” kata Marjilah.

Situasi mirip dirasakan pemetik teh bernama Supariyah atau Supar (48) asal Pedukuhan Ngentak, Pagerharjo. Supar biasa berkendara setengah jam dari rumahnya yang dekat perbatasan Purworejo ke kebun teh. 

Supar sudah empat tahun bekerja menjadi buruh lepas pemetik teh. Dia sebelumnya bekerja di perusahaan pengolahan teh selama 10 tahun.  

Ia hafal pucuk daun yang mana yang harus dipetik untuk menghasilkan teh hijau, teh hitam, teh merah, atau teh matcha yang berbentuk bubuk. Supar biasa memetik mulai dari pukul 07.00 hingga 12.00 WIB untuk menghasilkan 30 kg daun teh. 

Ia menyukai bekerja jadi pemetik teh karena waktu kerja pendek yakni hanya Senin sampai Kamis. Sehingga membuat dirinya bisa bekerja lainnya. Ia bekerja untuk diri sendiri, karena empat anaknya sudah bekerja di berbagai kota. 

“Setiap hari perusahaan datang ambil teh di tempat penampungan-penampungan. Dibawa pakai truk sekitar jam 13.00 WIB,” kata Supar di rumahnya.

Supar dibayar sedikitnya Rp 1.000 per kg daun teh. Karena bayaran tidak seberapa , ia harus memastikan hasil dari memetik teh bisa lebih dari tinggi dari ongkos yang dikeluarkan untuk bekerja.

“Pergi ke sana kan bensin saja Rp 15.000. Karena itu biasanya bisa memetik sekitar 30 kg (satu hari) baru masih punya sisa,” kata Supariyah.

Selain itu, hasil dari perusahaan kerap telat.

“Saat ini saja macet sejak Mei. Tapi tidak apa, karena memetik teh hanya selingan,” kata Supariyah.

Sadar teh tidak bisa menjadi andalan, ia menggenjot usaha berdagang telur asin dan gula aren. Rata-rata ia bisa jual 100 butir telur seharga Rp 3.500 per butir atau untung Rp 300 per butir.

Kebun Rakyat

Perkebunan teh pernah tumbuh begitu luas di masa lalu, tersebar di bukit Kapanewon Samigaluh dan Kapanewon Girimulyo.

Praktisi teh sekaligus pegiat teh organik asal Pagerharjo, Sukohadi menceritakan, luasnya bisa lebih 700 hektar di dua kecamatan itu. Hasil kebun pernah luar bias besar di masa lalu.

Tidak berlangsung lama, ternyata petani banyak yang kecewa terutama pada harga beli perusahaan yang sebesar ongkos produksi (HPP di tingkat) petani sendiri. Tidak sedikit petani menyerah dan merombak tanaman. 

"Yang tadinya bisa 750 hektar sempat menyentuh 47 hektar," kata Sukohadi, Ketua Kelompok Tani Tegal Subur Aktif di Samigaluh.

Sukohadi yang merupakan pendatang di Nglinggo Timur ini merasa usaha teh belum bisa mensejahterakan. Ini dilihat dari harga beli teh dari petani hanya Rp 1.100 per kg. Petani tidak memperoleh pendapatan yang layak, tetap miskin dan tidak berdaya.

Ia lantas membentuk KUB Menoreh Jaya di bawah Asosiasi Teh DIY. KUB berani membeli  teh dari petani sendiri dengan harga Rp 2.500 dari peta u jauh di atas monopoli perusahaan. Bahkan teh premium bisa dihargai Rp 5.000 per kg dan kelas super Rp 10.000 per kg. Otomatis perusahaan ikut  beli dengan harga sama ke petani.

Kehadiran mesin olah teh mempertahankan daya beli masyarakat. Kelompoknya bisa menghasilkan berbagai jenis teh, seperti teh hijau, roasted tea, yellow tea dan black dragon tea yang konon tertinggi kandungan anti oksidannya.

Asosiasi membuat petani kembali melihat harapan bahwa daun teh punya prospek bagus dan menjanjikan. Kebun teh berkembang lagi dari 47 hektar menjadi 137 hektar yang dikelola 327 keluarga dalam 18 kelompok. 

Sukohadi mempunyai 1,5 hektar lahan di kemiringan bukit. Kebunnya menghasilkan 50-100 kg per minggu teh kelas premium dan 100-150 kg per minggu teh kelas medium. 

Bahkan, ia bisa mempekerjakan enam tenaga pelihara lahan dan pohon, tiga pekerja pengolahan dan 3-9 buruh lepas untuk petik daun teh.

Selain harga daun teh bisa lebih baik, warga mulai bisa mengolah teh lebih baik sehingga menjual teh dengan harga lebih tinggi, tidak cuma dari daun teh yang dipetik. 

Bahkan buruh petik pun bisa dapat Rp 1.000-1.200 per kg dari memetik di lahan miliknya. Mereka bisa memiliki pendapatan lebih baik.

Sukohadi mengungkapkan, kebun tehnya banyak dilirik mereka yang ingin belajar seputar mengelola teh. Tidak hanya wisatawan dalam negeri tapi juga mancanegara. Teh organik, keberhasilan melawan hama dan penyakit tanpa pestisida, keberhasilan mempertahankan lahan dari erosi, menarik perhatian. 

“Destinasi wisata merupakan ikutannya. Kebun teh jadi terkenal karena view dan edukasinya. Tapi, akan lebih baik kalau edukasi tidak hanya foto dan melihat. Seharusnya edukasi itu mulai dari melihat proses petik, mengolah, dan riset lewat mencicipi, hingga mengetahui manfaat teh,” kata Sukohadi.

Tehnya juga diminati hingga ke beberapa negara. Ada yang lewat buyer, ada yang langsung dikirim ke luar negeri. Teh merek Ki Suko sudah sampai ke Jerman, Thailand, hingga Turki. 

Belum lama ini, ia mengekspor ke negara Republik Ceko dengan kiriman rata-rata 40 - 100 kg. 

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/07/30/231927378/kebun-teh-nglinggo-dulu-berjaya-kini-tak-lagi-menggembirakan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke