Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjawab Mitos Ombak Pantai Parangtritis yang Kerap Makan Korban secara Ilmiah

Kompas.com, 13 Januari 2022, 15:55 WIB
Puspasari Setyaningrum

Penulis

KOMPAS.com - Pantai Parangtritis yang menjadi tempat wisata populer di daerah selatan Yogyakarta sering dikaitkan dengan mitos-mitos, terutama karena kerap memakan korban.

Salah satu mitos yang paling terkenal adalah tentang sosok ratu penguasa laut selatan yang dalam mitos disebut terkait erat dengan raja-raja Mataram, Nyi Loro Kidul.

Baca juga: 7 Rekomendasi Tempat Wisata di Sekitar Pantai Parangtritis yang Tak Kalah Menarik untuk Dikunjungi

Menjawab mitos tersebut, ternyata ada penjelasan ilmiah tentang mengapa ombak Pantai Parangtritis kerap memakan korban.

Baca juga: Viral, Video Penyelamatan Wisatawan Terseret Ombak Pantai Parangtritis

Fenomena RIP Current di Pantai Parangtritis

Petugas SAR Mengevakuasi Korban tenggelam di Pantai Parangtritis, Bantul Kamis (30/11/2021)Dok SAR Satlinmas Wilayah III Bantul Petugas SAR Mengevakuasi Korban tenggelam di Pantai Parangtritis, Bantul Kamis (30/11/2021)

Melansir laman Tribun Jogja (21/10/2016), Pakar Geomorfologi Pesisir UGM, Prof Sunarto pernah menyebut bahwa potensi bahaya terseret arus di pantai pesisir selatan DIY termasuk di Pantai Parangtritis sangat tinggi dan mematikan.

Baca juga: Warga Bekasi Hilang Terseret Ombak di Pantai Parangtritis Bantul

Bentuk Pantai Parangtritis yang berkeluk dan pantai‑pantai lain di pesisir Gunungkidul yang biasanya berbentuk teluk dengan berbatas batuan tinggi.

RIP Current ini biasanya muncul di tengah cekungan pantai yang curam dan lokasinya bisa berpindah pindah untuk pantai seperti Parangtritis.

"Ada yang menyebut palung, ada yang menyebut lebengan, ada yang menyebut sungai di dalam laut. Sebenarnya ini arus permukaan bukan arus dalam," jelas Sunarto saat itu.

Adanya ombak pemangsa ini juga selama ini kurang dipahami oleh wisatawan yang bermain di tepi pantai.

Menurut Sunarto wisatawan akan cenderung memilih area ini karena memiliki gelombang lebih kecil dan tenang.

Padahal di sana justru ada RIP Current yang merupakan pantulan dari dua kekuatan gelombang yang menghantam pantai yang mengalir dari tepi pantai yang kembali ke laut dengan kecepatan tinggi.

Apakah Arti dari RIP Current?

Penjelasan fenomena RIP Current.National Oceanic and Atmospheric Administration Penjelasan fenomena RIP Current.

Melansir laman resmi Pusat Meteorologi Maritim BMKG, RIP Current yang juga dikenal dengan Boleran adalah arus kuat air laut yang bergerak menjauh dari pantai.

Kekuatan arus ini bahkan dapat menyeret perenang terkuat sekalipun jauh ke tengah laut.

RIP Current disebabkan adanya pertemuan ombak yang sejajar dengan garis pantai sehingga menyebabkan terjadinya arus balik dengan kecepatan arus yang tinggi.

Halaman:


Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau