YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan pentingnya regenerasi di tubuh Keraton Yogyakarta yang memungkinkan peran perempuan dalam kepemimpinan.
Pernyataan ini disampaikan dalam acara Dialog Kebangsaan Untuk Indonesia Damai yang berlangsung pada Minggu (26/10/2025) di Sasana Hinggil Dwi Abad, Kota Yogyakarta.
Acara tersebut dihadiri sejumlah tokoh nasional, termasuk Mahfud MD, Ahmad Dofiri, Basuki Hadimuljono, budayawan Butet Kertaredjasa, seniman Soimah, dan jurnalis senior Rossiana Sillalahi.
Baca juga: Sultan HB X: Menghadapi Demonstrasi Itu Kewajiban Saya, Jika Tak Muncul Justru Salah
Dalam dialog tersebut, Rossi mengajukan pertanyaan mengenai tingginya indeks demokrasi di DIY, meskipun pemerintahannya berbasis kerajaan atau feodal.
Sultan menjelaskan, Pemerintah DIY merupakan satu-satunya yang menerapkan reformasi kelurahan, dengan tujuan mendengarkan suara masyarakat desa.
"Kami ingin dengan reformasi di desa itu, tumbuh demokratisasi. Artinya apa? Masyarakat bukan sekadar diperintah, tapi menjadi subyek, bukan obyek pembangunan, tapi menjadi subyek pembangunan itu sendiri," ungkap Sultan.
Lebih lanjut, Sultan menekankan pentingnya mendengarkan suara masyarakat kecil, terutama petani.
"Masyarakat kecil petani itu didengar suaranya. Gitu. Maunya apa? Bukan kita, Gubernur, dianggap paling pintar? Ya, nggak. Kita juga belajar dari mereka," imbuhnya.
Baca juga: Harga Pangan di DIY Melonjak karena MBG, Sri Sultan: Otomatis Berpengaruh
Mengenai tingginya indeks demokrasi di DIY, Sultan menyatakan, ruang dialog dengan masyarakat telah dibuka.
"Jadi, kalau indeks demokrasi (tinggi), ruang-ruang itu memang dibuka, ya memang harus seperti itu," beber dia.
Sultan juga membahas soal regenerasi di Keraton Yogyakarta mengungkapkan, ia sempat berbicara di Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kemungkinan perempuan menjadi bagian dari regenerasi tersebut.
"Lho. Saya di MK untuk bicara, wanita menjadi bagian dari bisa dimungkinkan untuk regenerasi di Keraton Jogja? Kok, nggak boleh? Itu gimana? Karena, aturan itu di Keraton nggak ada," ujarnya.
Ia mengusulkan agar perempuan dapat berperan dalam regenerasi Keraton Yogyakarta, dengan tetap tunduk pada konstitusi Republik Indonesia yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.
"Tapi, saya tunduk pada Republik. Republik tidak membedakan laki-laki sama perempuan. Kenapa saya membedakan? Kan saya tidak konsisten," tegas Sultan.
Sultan juga menyampaikan bahwa saat ini zaman sudah berubah, sehingga perempuan dimungkinkan untuk berkontribusi dalam regenerasi di Keraton Yogyakarta.
"Zaman sudah berubah, itu kan leluhur saya. Lho, saya kan menjadi bagian dari Republik. Ya harus tunduk pada undang-undang Republik," tambahnya.
"Terserah pandangan masyarakat saja, setuju tidak, keputusan yang lain mesti ada pro dan kontra itu saja. Tapi saya hanya menetapi pada konstitusi Republik Indonesia, saya kan hidup di Republik Indonesia itu saja tidak membedakan laki-laki atau perempuan itu saja," tambah Sultan saat diwawancarai awak media mengenai pemimpin perempuan di masa depan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang