Editor
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Departemen Manajemen FEB UGM, Prof Dr R Agus Sartono berpendapat belajar dari pengalaman di negara maju, program makan bergizi gratis (MBG) merupakan ide yang bagus.
Belajar dari praktik baik negara maju, kata Agus Sartono, program MBG dilaksanakan melalui kantin sekolah.
“Tantangannya di implementasi, persoalan muncul bukan pada ide besar, tetapi pada delivery mechanism sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dan berbagai kasus keracunan muncul,” ujar Agus Sartono, melalui keterangan resminya, Minggu (5/10/2025).
Baca juga: Guru di Cimahi Tak Perlu Cicipi MBG, Uji Makanan Dilakukan Petugas SPPG
Program ini sesungguhnya memberikan banyak manfaat, pertama setidaknya bertujuan memperbaiki gizi anak di usia pertumbuhan melalui asupan yang cukup.
Kedua, membangun kohesi sosial karena anak mendapatkan makanan yang sama, dan harapannya akan tumbuh empati dan kepedulian sosial.
Ketiga, melalui program ini memberi pelajaran anak berperilaku tertib saat mengantri mengambil makanan, dan membersihkan makanan.
Keempat, anak tumbuh sikap bertanggung jawab untuk mengambil secukupnya, dan bertanggung jawab untuk tidak membuang-buang makanan.
Kelima, memberikan multiplier effect pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan, dan keenam, terciptanya lapangan kerja serta mencegah urbanisasi.
Dalam pandangannya, jika dilihat dari sasaran yang ingin dicapai, setidaknya terdapat 28,2 juta siswa SD/MI, 13,4 juta siswa SMP/MTs, 12,2 juta siswa SMK/MA/SMA, dan Dikmas/SLB 2,3 juta siswa sehingga total ada sekitar 55,1 juta yang harus dilayani.
Semua itu tersebar di 329 ribu satuan pendidikan, dan belum termasuk lebih dari 20 ribu pesantren.
“Dengan anggaran 15 ribu rupiah per siswa, maka setidaknya dibutuhkan dana sebesar Rp 247,95 triliun,” ucapnya.
Baca juga: 33 SPPG Salurkan Menu MBG Tanpa Kantongi Sertifikat di Pamekasan
Menurutnya, implementasi program MBG dengan dana Rp 247,95 triliun ini jauh lebih besar dari dana desa 2025 sekitar Rp 71 triliun.
Sementara itu, anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah tahun 2025 sebesar Rp 347 triliun sehingga terdapat Rp 665,95 triliun dana berputar di daerah.
“Jumlah yang sangat besar tentunya, dan diharapkan akan mendongkrak konsumsi dan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi. Namun kembali ke pertanyaan awal riuhnya program MBG, persoalan muncul pada delivery mechanism,” paparnya.
Agus menyampaikan sudah banyak program yang sasaran dan basisnya mengarah untuk siswa serta masyarakat tidak mampu seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial atau bansos.