Relawan bekerja dalam tim; ada yang bertugas mencuci beras, ada yang mengolah lauk, dan ada pula yang menata buah potong.
Baca juga: Dedi Mulyadi Tekankan Pengawasan Berlapis MBG: Dapur Mandiri, Orang Tua Harus Dilibatkan
"Setiap menu kami pastikan sesuai standar, bahkan sebelum dikirim ke sekolah, ada tahap tes organoleptik. Artinya, ahli gizi dan relawan mencoba dulu makanan itu. Kalau aman dan rasanya layak, baru bisa didistribusikan," jelasnya.
Proses ini bahkan didokumentasikan dan diunggah ke media sosial sebagai bentuk transparansi kepada publik.
Setelah matang, makanan tidak dibiarkan lama di dapur. Relawan segera mengemasnya ke dalam wadah khusus yang higienis.
Nasi, lauk, sayur, dan buah ditata rapi dalam tray yang sesuai takaran gizi anak-anak.
Kemasan lalu ditutup dan dimasukkan ke dalam kontainer besar agar tetap hangat saat perjalanan.
Di halaman dapur, mobil pick-up sudah menunggu. Relawan mengangkat kontainer satu per satu, memastikan daftar distribusi sesuai.
Setiap sekolah dan posyandu penerima MBG tercatat jelas. Hari ini ada 29 sekolah dan 4 posyandu, dengan total sekitar 3.950 anak penerima manfaat.
Mobil pun berangkat, menyusuri jalan perbukitan Bener.
Setibanya di sekolah, anak-anak menyambut dengan antusias.
Bagi mereka, tray berisi nasi hangat, telur ayam, sayur hijau, dan potongan buah itu bukan sekadar makan siang, melainkan bagian dari semangat belajar setiap hari.
Saat ditanya soal harapan ke depan, perwakilan Yayasan Nastiti Harapan Mulia menyebut satu hal, yakni keberlangsungan.
Baca juga: Rp 50 Triliun Beredar dari MBG, Dedi Mulyadi: Bisa Dongkrak Ekonomi Rakyat, Jangan Monopoli!
"Kami ingin dapur ini bisa terus berjalan, siapa pun pemimpinnya nanti. Kami berharap relawan kami mendapat berkah dari kerja mereka, dan anak-anak bisa terus mendapatkan makanan sehat," kata dia.
Dengan 47 relawan dapur yang bekerja bergantian setiap hari, SPPG Bener membuktikan bahwa program MBG bukan sekadar janji politik, melainkan bisa benar-benar hadir di meja makan anak-anak desa.
Sejak program MBG yang sudah berjalan hampir tujuh bulan ini, mereka merasakan dampak baik mulai dari banyaknya lapangan pekerjaan yang terbuka, seperti juru masak, jasa mencuci ompreng, hingga pedagang yang ditarik sebagai mitra penyedia bahan masakan seperti sayur dan buah.
Kini, dapur ini bukan hanya melayani perut, tetapi juga menjadi contoh nasional bagaimana kearifan lokal bisa bertemu dengan standar gizi modern.
Anak-anak pun dengan riang gembira menunggu kedatangan kontainer MBG yang membawa makanan sehat ke sekolahnya.
Saat jam istirahat, sekitar pukul 09.00 WIB, anak-anak mulai mendapatkan makanan dari SPPG Bener yang dikelola Yayasan Nastiti Harapan Mulia.
"Saya senang sekali karena bisa makan yang penuh gizi. Saya suka ayam geprek dan sayur buncis," kata Adelia Faranisa Adzni.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang