Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik Royalti Lagu, Shaggydog: Masyarakat Belum Melek, Sosialisasi Tak Merata

Kompas.com, 5 Agustus 2025, 11:32 WIB
Diamanty Meiliana

Editor

Polemik Royalti Lagu, Shaggydog: Masyarakat Belum Melek, Sosialisasi Tak Merata

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Upaya pemerintah mewajibkan pelaku usaha komersial, seperti kafe dan restoran, mengurus lisensi pemutaran musik dinilai sebagai langkah yang ideal sebagaimana telah diterapkan di sejumlah negara.

Grup musik asal Yogyakarta, Shaggydog, mengatakan, upaya itu penting demi keadilan bagi para pencipta lagu di tanah air.

Kendati demikian, sosialiasi yang dilakukan pemerintah belum merata. Sehingga, tak mengherankan royalti musik jadi perdebatan di tengah-tengah masyarakat.

Ditambah, para pemilik usaha kebingungan soal pembayaran royalti karena tidak ada kejelasan soal tarif dan sistem pembayaran.

Shaggydog Minta Tiru Penerapan seperti di Luar Negeri

Shaggydog mengatakan, pemerintah seharusnya meniru apa yang sudah diterapkan di luar negeri. Penerapan di luar negeri, menurut mereka, melindungi musisi dan tidak memberatkan pemilik usaha.

"Kalau mau fair seperti yang sudah diterapkan di luar negeri, memang idealnya usaha bisnis itu mengurus lisensi dulu untuk pemutaran lagu dengan tujuan komersial," ujar Perwakilan Manajemen Shaggydog Martinus Indra Hermawan, dikutip dari Antara (5/8/2025).

Baca juga: Pasang Lagu di Kafe Bayar Royalti Rp 120.000 per Kursi, Ternyata Pakai Suara Alam Juga Bayar

Meski demikian, ia menyadari masih banyak masyarakat yang belum memahami pentingnya lisensi pemutaran musik sebab sosialisasi dari pemerintah maupun Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) belum merata.

"Untuk urusan performing right ini, masyarakat awam masih banyak yang belum melek, sementara di sisi lain sosialisasinya juga belum merata," ucapnya.

Martinus berujar sejumlah anggota Shaggydog sebelumnya telah mendaftarkan karyanya ke LMK WAMI (Wahana Musik Indonesia).

Prosesnya disebut mudah dan gratis dengan cukup menyiapkan dokumen, mengisi formulir, dan menunggu verifikasi sekitar dua minggu. Setelah disetujui, anggota akan mendapat kartu resmi.

Shaggydog: Belum Semua Musisi Tahu Hak Royaltinya

Ia mengatakan, regulasi itu pada dasarnya bisa memberi manfaat nyata bagi musisi, terutama dalam menjamin hak atas karya yang digunakan secara komersial.

Namun, karena baru mendaftar, ia mengaku belum menerima laporan atau pembayaran royalti.

Meski begitu, ia berharap sistem tersebut bisa memberi manfaat konkret jika dijalankan dengan transparan dan inklusif.

Baca juga: Soal Royalti, Pemilik Kafe Yogyakarta: Tarif Rp 120 Ribu per Kursi Itu per Tahun, per Band, atau per 10 Lagu?

Dharma Oratmangun selaku Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional usai sidang uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (22/7/2025).KOMPAS.com/Revi C Rantung Dharma Oratmangun selaku Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional usai sidang uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (22/7/2025).

Martinus juga menilai bahwa musisi lokal di Yogyakarta belum semuanya memiliki akses dan informasi memadai soal perlindungan hak cipta dan sistem royalti.

"Harapan kami, semoga sosialisasi kepada masyarakat awam tentang hal ini lebih merata lagi, mempermudah serta mempercepat proses untuk pendaftaran, juga distribusi pembagian royaltinya kepada band dan songwriter supaya lebih mudah dipahami dan transparan," tutur Martinus.

Aturan Royalti Musik Berdasarkan Undang-undang

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik komersial, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kementerian Hukum Agung Damarsasongko mengungkapkan hal tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music atau layanan streaming lainnya.

Ia menjelaskan layanan streaming bersifat personal atau pribadi, tetapi ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, maka itu sudah masuk kategori penggunaan komersial sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah.

Dia mengatakan pembayaran royalti dilakukan melalui LMKN sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Pemilik Kafe Bingung soal Tarif

Rifkyanto Putro, pemilik Wheelsaid Coffee di Yogyakarta, mengungkapkan kebingungannya terhadap detail penerapan kebijakan pembayaran royalti lagu di tempat usahanya.

Rifkyanto mengaku sudah mengetahui adanya aturan pembayaran royalti untuk pemutaran lagu di tempat umum sejak tahun 2016.

Baca juga: Mengenal LMKN yang Berwenang Tarik Royalti, Struktur dan Cara Kerjanya

Namun, hingga kini ia masih belum mendapatkan informasi yang jelas mengenai cara pembayaran, tarif pasti, serta ke mana dana tersebut harus disetorkan.

Menurut informasi yang diterima Rifkyanto, tarif royalti yang dikenakan untuk coffee shop adalah sebesar Rp 120.000 per tahun untuk setiap kursi yang tersedia.

Namun, ia belum mengetahui secara pasti apakah tarif tersebut berlaku untuk satu lagu, satu band, atau seluruh lagu yang diputar.

“Rp 120.000 dikalikan dengan 25 kursi, nah itu baru satu hak cipta atau bagaimana? Yang belum jelas itu kan,” katanya.

Baca juga: Cerita Shaggydog saat Gabung ke Label Besar, Takut Dicap Jual Diri oleh Komunitas

Rifkyanto juga belum mengetahui siapa yang secara resmi berwenang menerima pembayaran royalti tersebut, meskipun ia menyatakan setuju pada prinsip perlindungan hak cipta musisi.

“Belum tahu, kalau intinya setuju aja Rp 120.000 per tahun. Tapi itu per band, per lagu, atau 10 lagu,” ujarnya.

Ketua LMKN: Suara Alam Tetap Harus Bayar Royalti

Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, mengingatkan para pelaku usaha restoran dan kafe bahwa memutar lagu luar negeri juga dikenakan kewajiban membayar royalti.

Hal tersebut, menurut Dharma, merupakan aturan dari Undang-Undang.

Selain itu, LMKN maupun Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) telah menjalin kerja sama dengan mitra internasional terkait pembayaran royalti.

“Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional. Kita punya kerja sama dengan luar negeri dan kita juga membayar ke sana,” kata Dharma kepada Kompas.com via telepon, Senin (4/7/2025).

Baca juga: Di Sayidan, Menilik Sisi Lain Yogyakarta Lewat Cerita Shaggydog

Dharma menegaskan, membayar royalti lagu tidak akan membuat usaha menjadi bangkrut.

Apalagi, tarif royalti lagu di Indonesia tergolong sangat rendah dibandingkan dengan negara lain.

Ia menambahkan bahwa LMKN juga mempertimbangkan kondisi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam penetapan tarif.

“Iya, intinya itu. Kenapa sih takut bayar royalti? Bayar royalti tidak akan membuat usaha bangkrut,” ujar Dharma.

“Tarif royalti kita paling rendah di dunia. Jadi, bayar royalti itu artinya patuh hukum. Kalau mau berkelit, nanti kena hukum. Itu saja jawabannya,” lanjut Dharma.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau