YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Upaya pemerintah mewajibkan pelaku usaha komersial, seperti kafe dan restoran, mengurus lisensi pemutaran musik dinilai sebagai langkah yang ideal sebagaimana telah diterapkan di sejumlah negara.
Grup musik asal Yogyakarta, Shaggydog, mengatakan, upaya itu penting demi keadilan bagi para pencipta lagu di tanah air.
Kendati demikian, sosialiasi yang dilakukan pemerintah belum merata. Sehingga, tak mengherankan royalti musik jadi perdebatan di tengah-tengah masyarakat.
Ditambah, para pemilik usaha kebingungan soal pembayaran royalti karena tidak ada kejelasan soal tarif dan sistem pembayaran.
Shaggydog Minta Tiru Penerapan seperti di Luar Negeri
Shaggydog mengatakan, pemerintah seharusnya meniru apa yang sudah diterapkan di luar negeri. Penerapan di luar negeri, menurut mereka, melindungi musisi dan tidak memberatkan pemilik usaha.
"Kalau mau fair seperti yang sudah diterapkan di luar negeri, memang idealnya usaha bisnis itu mengurus lisensi dulu untuk pemutaran lagu dengan tujuan komersial," ujar Perwakilan Manajemen Shaggydog Martinus Indra Hermawan, dikutip dari Antara (5/8/2025).
Meski demikian, ia menyadari masih banyak masyarakat yang belum memahami pentingnya lisensi pemutaran musik sebab sosialisasi dari pemerintah maupun Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) belum merata.
"Untuk urusan performing right ini, masyarakat awam masih banyak yang belum melek, sementara di sisi lain sosialisasinya juga belum merata," ucapnya.
Martinus berujar sejumlah anggota Shaggydog sebelumnya telah mendaftarkan karyanya ke LMK WAMI (Wahana Musik Indonesia).
Prosesnya disebut mudah dan gratis dengan cukup menyiapkan dokumen, mengisi formulir, dan menunggu verifikasi sekitar dua minggu. Setelah disetujui, anggota akan mendapat kartu resmi.
Shaggydog: Belum Semua Musisi Tahu Hak Royaltinya
Ia mengatakan, regulasi itu pada dasarnya bisa memberi manfaat nyata bagi musisi, terutama dalam menjamin hak atas karya yang digunakan secara komersial.
Namun, karena baru mendaftar, ia mengaku belum menerima laporan atau pembayaran royalti.
Meski begitu, ia berharap sistem tersebut bisa memberi manfaat konkret jika dijalankan dengan transparan dan inklusif.
Martinus juga menilai bahwa musisi lokal di Yogyakarta belum semuanya memiliki akses dan informasi memadai soal perlindungan hak cipta dan sistem royalti.
"Harapan kami, semoga sosialisasi kepada masyarakat awam tentang hal ini lebih merata lagi, mempermudah serta mempercepat proses untuk pendaftaran, juga distribusi pembagian royaltinya kepada band dan songwriter supaya lebih mudah dipahami dan transparan," tutur Martinus.
Aturan Royalti Musik Berdasarkan Undang-undang
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik komersial, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kementerian Hukum Agung Damarsasongko mengungkapkan hal tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music atau layanan streaming lainnya.
Ia menjelaskan layanan streaming bersifat personal atau pribadi, tetapi ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, maka itu sudah masuk kategori penggunaan komersial sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah.
Dia mengatakan pembayaran royalti dilakukan melalui LMKN sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Pemilik Kafe Bingung soal Tarif
Rifkyanto Putro, pemilik Wheelsaid Coffee di Yogyakarta, mengungkapkan kebingungannya terhadap detail penerapan kebijakan pembayaran royalti lagu di tempat usahanya.
Rifkyanto mengaku sudah mengetahui adanya aturan pembayaran royalti untuk pemutaran lagu di tempat umum sejak tahun 2016.
Namun, hingga kini ia masih belum mendapatkan informasi yang jelas mengenai cara pembayaran, tarif pasti, serta ke mana dana tersebut harus disetorkan.
Menurut informasi yang diterima Rifkyanto, tarif royalti yang dikenakan untuk coffee shop adalah sebesar Rp 120.000 per tahun untuk setiap kursi yang tersedia.
Namun, ia belum mengetahui secara pasti apakah tarif tersebut berlaku untuk satu lagu, satu band, atau seluruh lagu yang diputar.
“Rp 120.000 dikalikan dengan 25 kursi, nah itu baru satu hak cipta atau bagaimana? Yang belum jelas itu kan,” katanya.
Rifkyanto juga belum mengetahui siapa yang secara resmi berwenang menerima pembayaran royalti tersebut, meskipun ia menyatakan setuju pada prinsip perlindungan hak cipta musisi.
“Belum tahu, kalau intinya setuju aja Rp 120.000 per tahun. Tapi itu per band, per lagu, atau 10 lagu,” ujarnya.
Ketua LMKN: Suara Alam Tetap Harus Bayar Royalti
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, mengingatkan para pelaku usaha restoran dan kafe bahwa memutar lagu luar negeri juga dikenakan kewajiban membayar royalti.
Hal tersebut, menurut Dharma, merupakan aturan dari Undang-Undang.
Selain itu, LMKN maupun Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) telah menjalin kerja sama dengan mitra internasional terkait pembayaran royalti.
“Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional. Kita punya kerja sama dengan luar negeri dan kita juga membayar ke sana,” kata Dharma kepada Kompas.com via telepon, Senin (4/7/2025).
Dharma menegaskan, membayar royalti lagu tidak akan membuat usaha menjadi bangkrut.
Apalagi, tarif royalti lagu di Indonesia tergolong sangat rendah dibandingkan dengan negara lain.
Ia menambahkan bahwa LMKN juga mempertimbangkan kondisi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam penetapan tarif.
“Iya, intinya itu. Kenapa sih takut bayar royalti? Bayar royalti tidak akan membuat usaha bangkrut,” ujar Dharma.
“Tarif royalti kita paling rendah di dunia. Jadi, bayar royalti itu artinya patuh hukum. Kalau mau berkelit, nanti kena hukum. Itu saja jawabannya,” lanjut Dharma.
https://yogyakarta.kompas.com/read/2025/08/05/113213378/polemik-royalti-lagu-shaggydog-masyarakat-belum-melek-sosialisasi-tak