Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Rubikem dan Ngatiyem di Usia Senja, Tahan Banting Meski Upahnya Rp 10.000

Kompas.com, 28 Mei 2025, 13:34 WIB
Dani Julius Zebua,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KULON PROGO, KOMPAS.com – Perempuan-perempuan tangguh hidup di Kalurahan Sukoreno, Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Meski di usia senja, mereka masih bekerja keras demi menghidupi keluarga. 

“Nik dong (kalau beruntung) dapat Rp 10.000. Sekarang sepi. Harus bisa mendapat lebih. Karena untuk beli nasi Rp 5.000, teh Rp 3.000, selebihnya untuk beli gorengan. Habis,” kata Rubikem (64), Rabu (28/5/2025).

Rubikem buruh gendong di Pasar Beringharjo, sekitar 24 kilometer dari rumahnya. Tubuhnya kurus dengan tinggi kurang dari 160 Cm. Giginya banyak yang sudah tanggal.

Lansia ini mengaku masih sanggup menggendong karung isi sayur 40 kilogram di punggungnya. 

Baca juga: Kisah Jamil Sempat Ragu Saat Dihubungi Setneg RI yang Ingin Membeli Sapinya untuk Kurban Presiden

Demi menjemput rezeki, Rubikem berangkat ke Yogyakarta pukul 03.30 WIB, ketika semua orang masih terlelap, pulang 14.00 WIB. 

Anaknya setia mengantar jemput ke tempat pemberhentian bus di simpang Ngelo. Rubikem lalu naik bis kecil ke Jogja dengan tarif Rp 10.000. 

“30 tahun, tak lakoni (saya jalani) seperti ini,” kata Rubikem.

Ia bersyukur masih dikaruniai tubuh kuat dan sehat. Ia bertahan demi merawat suaminya yang sakit.

“Sekarang hidup rekoso,” kata Rubikem.

Di antara tabah dan keraguan pada usia senja yang terus bertambah, Rubikem selalu berharap nasib berubah. Ia mendamba rezeki yang lebih baik lewat usaha mandiri.

Dengan begitu, ia bisa bekerja sambil tetap dekat dengan suami yang sakit. Rubikem pun lantas mengharapkan bantuan pemerintah. 

Pada kesempatan sama, Ngatiyem (61) asal Sukoreno menceritakan dirinya hidup seorang diri sejak suaminya meninggal dunia tujuh tahun lalu. Kata Ngatiyem, hidup sendirian di usia tua terasa berat. Pasalnya, ia harus berusaha menghidupi diri sendiri meski tubuh sudah tidak sekuat ketika masih muda. 

Ngatiyem bekerja di sebuah masjid di Yogyakarta. Tiap hari melaju Sukoreno – Yogyakarta, pergi subuh pulang sore. Ia bekerja dengan penghasilan yang mirip dengan Rubikem, upah pokok Rp 10.000 per hari ditambah uang makan Rp 20.000. 

Ia hanya bisa bekerja seperti itu karena kecelakaan di masa lalu melemahkan tubuhnya. Ia bekerja dengan orang membersihkan masjid di sekitar pasar.

“Hidup sendiri itu susah, Mas. Masyarakat sok umum (sesekali ada kegiatan), gini gini gini. Saya kan cuma hidup sendiri, itu rasanya ngeluh. Kalau ada suami, apa-apa disampaikan ke suami, hidup sendiri itu susah sekali,” kata Ngatiyem.

Halaman:


Terkini Lainnya
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Tak Pandang Hari Libur, Pengawasan Ibu Hamil di Gunungkidul Diperketat demi Kelahiran yang Aman
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau