KULON PROGO, KOMPAS.com – Perempuan-perempuan tangguh hidup di Kalurahan Sukoreno, Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Meski di usia senja, mereka masih bekerja keras demi menghidupi keluarga.
“Nik dong (kalau beruntung) dapat Rp 10.000. Sekarang sepi. Harus bisa mendapat lebih. Karena untuk beli nasi Rp 5.000, teh Rp 3.000, selebihnya untuk beli gorengan. Habis,” kata Rubikem (64), Rabu (28/5/2025).
Rubikem buruh gendong di Pasar Beringharjo, sekitar 24 kilometer dari rumahnya. Tubuhnya kurus dengan tinggi kurang dari 160 Cm. Giginya banyak yang sudah tanggal.
Lansia ini mengaku masih sanggup menggendong karung isi sayur 40 kilogram di punggungnya.
Baca juga: Kisah Jamil Sempat Ragu Saat Dihubungi Setneg RI yang Ingin Membeli Sapinya untuk Kurban Presiden
Demi menjemput rezeki, Rubikem berangkat ke Yogyakarta pukul 03.30 WIB, ketika semua orang masih terlelap, pulang 14.00 WIB.
Anaknya setia mengantar jemput ke tempat pemberhentian bus di simpang Ngelo. Rubikem lalu naik bis kecil ke Jogja dengan tarif Rp 10.000.
“30 tahun, tak lakoni (saya jalani) seperti ini,” kata Rubikem.
Ia bersyukur masih dikaruniai tubuh kuat dan sehat. Ia bertahan demi merawat suaminya yang sakit.
“Sekarang hidup rekoso,” kata Rubikem.
Di antara tabah dan keraguan pada usia senja yang terus bertambah, Rubikem selalu berharap nasib berubah. Ia mendamba rezeki yang lebih baik lewat usaha mandiri.
Dengan begitu, ia bisa bekerja sambil tetap dekat dengan suami yang sakit. Rubikem pun lantas mengharapkan bantuan pemerintah.
Pada kesempatan sama, Ngatiyem (61) asal Sukoreno menceritakan dirinya hidup seorang diri sejak suaminya meninggal dunia tujuh tahun lalu. Kata Ngatiyem, hidup sendirian di usia tua terasa berat. Pasalnya, ia harus berusaha menghidupi diri sendiri meski tubuh sudah tidak sekuat ketika masih muda.
Ngatiyem bekerja di sebuah masjid di Yogyakarta. Tiap hari melaju Sukoreno – Yogyakarta, pergi subuh pulang sore. Ia bekerja dengan penghasilan yang mirip dengan Rubikem, upah pokok Rp 10.000 per hari ditambah uang makan Rp 20.000.
Ia hanya bisa bekerja seperti itu karena kecelakaan di masa lalu melemahkan tubuhnya. Ia bekerja dengan orang membersihkan masjid di sekitar pasar.
“Hidup sendiri itu susah, Mas. Masyarakat sok umum (sesekali ada kegiatan), gini gini gini. Saya kan cuma hidup sendiri, itu rasanya ngeluh. Kalau ada suami, apa-apa disampaikan ke suami, hidup sendiri itu susah sekali,” kata Ngatiyem.