Hedi juga menemukan bahwa KTP istrinya telah digunakan untuk proses legalisasi tanpa pernah ia serahkan ke notaris.
Hedi kemudian melaporkan notaris terkait ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) dan terbukti melanggar kode etik.
Baca juga: UMKM Toko Mama Khas Banjar Tutup, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Tak puas dengan proses pidana, Hedi mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Sleman, menggugat pihak bank serta kedua pelaku.
Namun sayangnya, gugatan ditolak karena dianggap cacat formil.
Laporan ke Ditreskrimsus Polda DIY pun tak membuahkan hasil, kasus dihentikan dengan surat SP3.
Perjalanan makin rumit ketika diketahui bahwa sertifikat yang sudah diblokir oleh BPN justru kembali berpindah tangan.
Baca juga: Tragedi Longsor Samarinda, 4 Rumah Tertimbun, 2 Korban Tewas, 2 Masih Pencarian
Kali ini, berpindah dari SJ ke seseorang berinisial RZA.
“Saya heran, sudah diblokir tapi bisa dibalik nama lagi. RZA sempat datang, saya sudah jelaskan kalau ini tanah bermasalah,” kata Hedi.
Perjuangan 12 tahun ini sangat memukul Hedi secara fisik dan mental.
Dengan penghasilan sebagai guru honorer swasta hanya Rp 150.000 per bulan, ia terpaksa bekerja sambilan sebagai montir untuk menghidupi istri dan tiga anaknya.
"Sampai tak bisa belikan susu anak, saya menelantarkan keluarga karena fokus memperjuangkan ini. Rasanya sangat berat," ujarnya sambil menahan tangis.
Hedi hanya memiliki satu harapan agar negara turun tangan membantu mengembalikan sertifikat tanah milik keluarganya.
“Saya mohon kepada pemerintah pusat dan Komisi III DPR RI, bantu kami. Saya hanya guru honorer yang ingin keadilan. Kembalikan hak istri saya,” pintanya.
Baca juga: Penjelasan Al Azhar IIBS Karanganyar soal Study Tour Siswanya ke Paris
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang