Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bertambah Lagi Warga Bantul Jadi Korban Mafia Tanah, Modusnya Sama

Kompas.com, 8 Mei 2025, 20:47 WIB
Markus Yuwono,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Polres Bantul sedang menyelidiki kasus dugaan mafia tanah yang menimpa seorang warga Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta.

Modus operandi yang digunakan adalah menawarkan bantuan untuk balik nama sertifikat, namun proses tersebut tidak pernah terealisasi dan sertifikat malah digunakan sebagai agunan bank.

Setidaknya, ini sudah kasus ke-3 di Bantul dengan modus yang serupa.

Kasi Humas Polres Bantul, AKP I Nengah Jeffry Prana Widnyana, menjelaskan bahwa peristiwa ini bermula ketika korban berinisial IR (40) bertemu dengan MWE (48), seorang warga Wirogunan, Mergangsan, Kota Yogyakarta, pada Senin, 10 April 2023.

Saat itu, IR memang berniat untuk membalik nama sertifikatnya, dan MWE menawarkan jasanya dengan biaya yang disepakati sebesar Rp 11,4 juta.

Baca juga: Polisi Mulai Periksa Bryan yang Diduga Jadi Korban Mafia Tanah di Bantul

"Terlapor menjanjikan antara 1-2 tahun sertifikat selesai," ungkap Jeffry saat dihubungi wartawan melalui telepon pada Kamis (8/5/2025).

Jeffry menambahkan, IR telah menyerahkan sertifikat dan uang tunai sebesar Rp 11,5 juta kepada MWE. Namun, hingga tahun lalu (2024), tidak ada perkembangan dalam proses tersebut.

Situasi semakin memburuk ketika pada 11 November 2024, IR didatangi oleh petugas bank swasta.

"Pihak bank menerangkan bahwa sertifikat korban dengan nomor HM 04210 telah dijaminkan oleh terlapor," jelasnya.

Baca juga: BPN Bantul Duga Mafia Tanah yang Tipu Mbah Tupon juga Jerat Banyak Korban Lain

Setelah menyadari penipuan tersebut, IR mencoba menghubungi MWE, namun tidak bisa dijangkau.

Usaha pencarian pun dilakukan, tetapi MWE sudah tidak dapat ditemukan.

Akhirnya, korban melaporkan kasus ini ke Polres Bantul, dan saat ini penyelidikan sedang berlangsung.

Sebelumnya, ada 2 kasus mafia tanah yang membuat resah masyarakat, yaitu kasus tanah Mbah Tupon dan Bryan Manov. Keduanya adalah warga Bantul.

Bupati Bantul Abdul Halim Muslih saat datangi Mbah Tupon, beri dukungan dan minta Mbah Tupon tenang, Selasa (29/4/2025)KOMPAS.COM/WISANG SETO PANGARIBOWO Bupati Bantul Abdul Halim Muslih saat datangi Mbah Tupon, beri dukungan dan minta Mbah Tupon tenang, Selasa (29/4/2025)

Saat ini, Polda Yogyakarta sedang menyelidiki kedua kasus tersebut. Sertifikat tanah milik Mbah Tupon dan Bryan Manov pun sudah diblokir untuk kepentingan penyelidikan.

Kasus Mbah Tupon

Kasus mafia tanah di Bantul tahun 2025 ini mencuat ketika Mbah Tupon (68), warga Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), diberitakan terancam kehilangan tanah seluas 1.655 meter persegi dan bangunan berupa dua rumah. Sebab, sertifikat pada tanah itu telah beralih nama.

Kronologi peristiwa tersebut bermula pada pada 2020, saat itu Mbah Tupon hendak menjual sebagian tanah miliknya, yaitu 298 meter persegi dari total 2.100 meter persegi.

Baca juga: Kasus Mafia Tanah Bryan Lebih Ekstrem dari Mbah Tupon

Pembeli berinisial BR ingin membeli tanah milik Mbah Tupon seluas 298 meter persegi.

Pada momen itu, Mbah Tupon juga menghibahkan sebagian tanahnya untuk jalan seluas 90 meter persegi, dan setelah itu ia menghibahkan tanah seluas 54 meter persegi untuk gudang RT.

Sertifikat tanah tersebut lantas dipecah. Untuk sertifikat tanah hibah tersebut sudah jadi.

Lalu, BR menawarkan memecah sertifikat pada sisa tanah seluas 1.655 meter persegi menjadi 4 sertifikat. Empat sertifikat tanah itu rencananya akan atas nama Mbah Tupon dan anak-anaknya sebanyak tiga orang.

Namun yang terjadi adalah sertifikat milik Mbah Tupon itu sudah beralih tangan, dengan atas nama inisial IF. Sertifikat ini lalu diagunkan ke bank dengan utang senilai Rp 1,5 miliar.

Baca juga: Nusron Pastikan Sertifikat Mbah Tupon Dikembalikan Usai Proses Hukum

Polisi saat meminta keterangan dari puhak pelapor kasus dugaan mafia tanah, Selasa (6/5/2025)KOMPAS.COM/WISANG SETO PANGARIBOWO Polisi saat meminta keterangan dari puhak pelapor kasus dugaan mafia tanah, Selasa (6/5/2025)

Pihak bank lalu datang ke rumah Mbah Tupon dengan membawa salinan sertifikat tersebut dan menyampaikan kepada anak Mbah Tupon bahwa sertifikat telah diagunkan.

Selama uang telah diterima IF, yang bersangkutan tak pernah mengangsur selama 4 bulan. Alhasil tanah dan dua rumah milik keluarga Mbah Tupon dilelang tahap pertama oleh bank.

Kasus Bryan Manov

Kasus mbah Tupon ternyata memicu laporan lain dari warga Bantul bernama Bryan Manov Qrisna Huri (35) di Argajadan, Tamantirto, Kasihan.

Ia diberitahu bahwa tanah warisan keluarganya sudah beralih kepemilikan atas nama orang lain dan telah diagunkan ke bank. 

Menurut Bupati Bantul Abdul Halim Muslih, kasus Bryan ini memiliki kesamaan dengan kasus yang menimpa Mbah Tupon, namun dalam konteks yang lebih ekstrem.

"Jadi ada kisah yang mirip tetapi ini lebih ekstrem lagi. Tidak ada satupun tanda tangan keluarga Mas Bryan itu, kok tiba-tiba sertifikat itu berubah nama. Ini lebih ekstrem lagi dibanding Mbah Tupon," ujar Halim kepada wartawan di Bantul, Rabu (7/5/2025). 

Baca juga: Kasus Mafia Tanah Tipu Mbah Tupon Masih Diselidiki, Polda DIY Sudah Periksa 11 Saksi

Dalam perbandingan dengan kasus Mbah Tupon, Halim menjelaskan bahwa Mbah Tupon tidak dapat membaca dan menulis, sehingga ia menandatangani dokumen yang disiapkan oleh orang yang sebelumnya dipercaya. Namun, dalam kasus keluarga Bryan, Halim mencurigai adanya pemalsuan dokumen.

"Gimana bisa beralih kalau tidak ada akta jual beli, kan tidak mungkin. Dan dalam akta apapun pasti diperlukan tanda tangan pemilik sertifikat, dan itu tidak pernah ada," tegas Halim.

Lebih lanjut, Halim menyatakan bahwa tidak ada anggota keluarga Bryan yang buta huruf. Dia juga mencatat bahwa terdapat indikasi keterlibatan pihak-pihak yang sama dalam kedua kasus tersebut.

"Ada indikasi mafianya sama, karena investigasi kok menemukan nama-nama yang mirip. Tapi apakah orangnya sama atau tidak masih terus didalami," ungkapnya.

Baca juga: Selain Mbah Tupon, Ada Korban Lain Diduga Korban Mafia Tanah di Bantul

Halim menambahkan bahwa transaksi pemindahan nama dalam kedua kasus, baik Mbah Tupon maupun Bryan, telah melibatkan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Menurutnya, petugas penarik tidak memiliki kepentingan untuk memvalidasi sertifikat tersebut atas nama siapa sebenarnya.

"Jadi keduanya memang meyakinkan bahwa telah terjadi peralihan hak, buktinya mereka bayar BPHTB. Ini berarti akta jual belinya palsu, dan yang mengherankan memang sertifikatnya itu bisa demikian mudah beralih ke tangan orang lain tanpa ada pembubuhan tanda tangan sekalipun," tutup Halim.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Penyu Lekang Terdampar Lemas di Pantai Glagah, Satlinmas: Kurus, Berenangnya Tak Normal
Penyu Lekang Terdampar Lemas di Pantai Glagah, Satlinmas: Kurus, Berenangnya Tak Normal
Yogyakarta
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Pedagang TTS dan Kartu Pos di Yogyakarta Terus Bertahan: Tetap Laris di Kalangan Turis
Yogyakarta
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Berpotensi Viral, Pelaku Wisata di Gunungkidul Diimbau Tak 'Nutuk' Harga saat Libur Nataru
Yogyakarta
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Cerita Kusir Andong Malioboro Sambut Nataru: Kuda Diberi Jamu Bergizi hingga Waspada Musik
Yogyakarta
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Basuki Pastikan Kantor Wapres di IKN Segera Selesai
Yogyakarta
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Simak Jalur Alternatif Masuk Yogyakarta di Libur Natal-Tahun Baru, Jangan Sampai Terjebak Macet!
Yogyakarta
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Bantul kirim Tim Kesehatan ke Aceh Tamiang
Yogyakarta
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Target Kunjungan Wisatawan ke Sleman Saat Nataru Turun Dibandingkan Tahun Lalu, Ini Alasannya
Yogyakarta
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Viral Video Mahasiswa Diduga Mabuk Bikin Onar di Gamping Sleman, Ditangkap Polisi
Yogyakarta
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
UMP 2026 Tak Kunjung Terbit, Buruh Yogyakarta Resah dan Khawatir Dialog Jadi Formalitas
Yogyakarta
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Sleman Bersiap Hadapi Lonjakan Arus Nataru, Dishub Petakan Titik Rawan Macet
Yogyakarta
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Pemerintah Tak Kunjung Tetapkan Formula UMP, Pengusaha Yogyakarta: Kami Butuh Kepastian Aturan
Yogyakarta
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Swasta Boleh Tarik Tarif Parkir 5 Kali Lipat di Jogja, Aturannya Terbit Era Haryadi Suyuti
Yogyakarta
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Sultan Minta Pemkot Yogyakarta Tertibkan Parkir Liar: Kalau Kewalahan, Saya Terjun!
Yogyakarta
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Baru Saja Dilantik, 2.018 PPPK Kulon Progo Langsung Pecahkan Rekor Dunia Lewat Macapat
Yogyakarta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau