YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Kota Yogyakarta memperketat penjualan daging sapi seiring dengan meningkatkan kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) di Kota Gudeg.
Pengawasan itu dilakukan guna memastikan daging sapi yang dijual aman dan layak konsumsi.
Perlu diketahui, sampai saat ini tidak ada temuan kasus PMK pada sapi, kambing, dan domba di Kota Yogyakarta
Baca juga: Alasan Gunungkidul Tidak Tutup Pasar Hewan meski Kasus PMK Meningkat
Kepala Bidang Pangan Dinas Pertanian dan Pangan Kota Yogyakarta, Imam Nurwahid, menjelaskan bahwa produk daging sapi yang diawasi secara kasat mata tidak dapat terlihat terinfeksi PMK.
Oleh karena itu, pengawasan dilakukan dengan memeriksa kelengkapan surat keterangan kesehatan daging (SKKD).
“Kami melakukan pengawasan rutin. Kami melakukan pengawasan dengan tetap memperhatikan kasus-kasus itu (PMK). Lebih meningkatkan pengawasan dan kewaspadaan karena kalau sudah jadi daging tidak kelihatan,” ujar Imam dalam keterangannya, Selasa (14/1/2025).
Baca juga: Penyakit Tangan Kaki Mulut pada Anak, Apakah Berkaitan dengan Penyakit Mulut Kuku Hewan?
Imam menambahkan bahwa pengawasan produk pangan seperti daging dilakukan secara rutin minimal enam kali.
Setiap produk daging yang masuk ke Kota Yogyakarta wajib disertai surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dan surat keterangan kesehatan daging dari daerah asal.
Hingga saat ini, hasil pengawasan pada bulan Januari tidak menemukan kasus PMK.
“Kita tanyakan dan harus ada lampirannya (surat keterangan kesehatan daging). Selama ini, daging sapi dan kambing di pasar di kota kebanyakan berasal dari Bantul dan Boyolali, serta sebagian kecil dari Sleman dan Temanggung,” kata dia.
Baca juga: Cara Penanganan Hewan Ternak yang Terkena Penyakit Mulut dan Kuku
Sementara itu, Kepala Bidang Perikanan dan Kehutanan Dinas Pertanian dan Pangan Kota Yogyakarta, Sri Panggarti, menambahkan bahwa hingga hari ini tidak ada temuan kasus PMK pada ternak sapi, kambing, dan domba di Kota Yogyakarta.
Ia menegaskan bahwa lalu lintas ternak dari luar kota, baik untuk dipelihara maupun dipotong, wajib memiliki SKKH.
Penjualan sapi dari peternak juga disarankan untuk meminta SKKH guna mencegah penularan PMK.
“Hasil koordinasi kabupaten kota semakin kita dorong untuk tertib menggunakan SKKH. Kalau yang (masuk) RPH (Rumah Pemotongan Hewan) pasti membawa SKKH. Kalau tidak, pasti kita ada pemeriksaan ulang. RPH kami sejak dulu tidak menerima sapi yang sakit PMK,” tambah Panggarti.
Baca juga: Penyakit Mulut dan Kuku Serang 824 Sapi di Yogyakarta, 21 Ekor Mati
Dia juga menjelaskan bahwa PMK bukanlah penyakit zoonosis yang menular ke manusia, sehingga daging ternak tetap bisa dikonsumsi.
Namun, hewan yang sakit dapat mempengaruhi kualitas daging.
Oleh karena itu, meskipun daging dari hewan yang terinfeksi PMK dapat dipotong dengan perlakuan khusus, disarankan agar daging tersebut segera diolah di wilayah itu dan tidak boleh diperdagangkan.
“Kami imbau masyarakat untuk hati-hati dalam membeli daging. Tidak hanya untuk PMK, tetapi juga untuk kondisi daging lainnya," kata dia.
"Jangan tergiur harga murah. Beli di tempat yang memotongkan hewan di RPH. Secara fisik, daging merah harus segar, tidak bau busuk, serta perhatikan warna dan konsistensinya,” imbuhnya.
Baca juga: 2.026 Sapi di Jateng Terinfeksi Penyakit Mulut dan Kuku, 52 Ekor Mati, Daerah Mana yang Parah?
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang