Editor
KOMPAS.com - Sultan Ground adalah istilah yang digunakan untuk menyebut Tanah Kasultanan atau tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sebutan Sultan Ground yang kerap digunakan berasal dari istilah dalam bahasa Belanda yaitu Sultanaat Grond (SG).
Baca juga: Keraton Yogyakarta Tuntut PT KAI Rp 1.000, Ini Penjelasan Sri Sultan HB X
Tanah yang juga sering yang lazim disebut Kagungan Dalem ini merupakan bagian dari keistimewaan yang dimiliki Kasultanan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam hal ini, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki kewenangan istimewa dalam mengatur dan mengurus kepemilikan, penguasaan dan pengelolaannya.
Baca juga: Sultan Buka Peluang Tapera Dibangun di Atas Sultan Ground asalkan Sewa
Pengertian Sultan Ground (SG) atau Tanah Kasultanan disebutkan dalam beberapa dokumen peraturan.
Dalam Pergub DIY Nomor 33 Tahun 2017 disebut bahwa Tanah Kasultanan adalah tanah hak milik Kasultanan meliputi Tanah Keprabon dan Tanah Bukan Keprabon atau Dede Keprabon yang terdapat di kabupaten/kota dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca juga: Sultan HB X Sebut Pemanfaatan Tanah yang Diperkarakan Tetap Dikelola PT KAI
Penjelasan mengenai Sultan Ground juga tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada Pasal 32 dijelaskan bahwa Tanah Kasultanan meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten dan kota dalam wilayah DIY.
Dalam hal ini, tanah keprabon adalah tanah yang digunakan untuk bangunan istana dan kelengkapannya, seperti Pagelaran, Kraton, Sripanganti, tanah untuk makam Raja dan kerabatnya (di Kotagede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid, taman sari, pesanggrahan, dan petilasan.
Tanah bukan keprabon terdiri atas dua jenis tanah, yaitu tanah yang digunakan penduduk atau lembaga dengan hak (magersari, ngindung, hak pakai, hutan, kampus, rumah sakit, dan lain-lain) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak.
Lebih lanjut, Kasultanan berwenang mengelola dan memanfaatkan Tanah Kasultanan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.
Kemudian dalam Pasal 33 juga dijelaskan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan Tanah Kasultanan oleh pihak lain harus mendapatkan izin persetujuan Kasultanan.
Suasana bagian dalam Keraton Yogyakarta.Tanah Kasultanan memiliki sejarah yang cukup panjang, yang bisa ditelusuri sejak berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Seperti diketahui, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat lahir setelah Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, dengan status Badan Hukum Swapraja di bawah kedaulatan VOC.
Setelah VOC bubar pada 31 Desember 1799, kontrak politik dilanjutkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda hingga tahun 1940. Namun pada masa pemerintahan Hamengku Buwono III, Kasultanan Yogyakarta sempat berada di bawah kedaulatan Pemerintah Kolonial Inggris.
Sejarah Tanah Kasultanan bermula pada 1918, di mana Pemerintah Kolonial Belanda secara resmi melalui Rijksblad (Lembaran Negara) mengakui Sultanaat Grond sebagai tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Hal ini tertuang melalui yaitu Rijksblad Kasultanan No 16 tahun 1918 yang menjadi dasar hukum status tanah yang dikenal sebagai Sultanaat Grond (SG).
Rijksblad 1918 itu juga menjadi sumber hukum bagi tanah kas desa dan bengkok atau lungguh (keduanya hak anggaduh), serta pangarem-arem (pensiun perangkat desa, hak anganggo/pakai).
Pada periode selanjutnya, kepada penduduk kotapraja diberikan hak andarbeni sesuai Rijksblad Kasultanan No. 23 Tahun 1925.