Editor
KOMPAS.com - Jelang perayaan HUT Ke-79 RI pada tanggal 17 Agustus 2024, duplikat bendera pusaka dan salinan naskah teks proklamasi telah berada di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Duplikat bendera pusaka dan salinan naskah teks proklamasi tiba di IKN setelah menjalani kirab dari Monas, Jakarta pada Sabtu (10/08/2024).
Baca juga: Mengenal Bendera Pusaka, dari Sejarah hingga Duplikatnya
Setibanya di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN), bendera pusaka dan naskah proklamasi selanjutnya disimpan di sebuah ruangan khusus dan dipersiapkan untuk digunakan pada upacara peringatan HUT Ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia di IKN.
Sebelumnya, duplikat bendera pusaka inilah yang selalu dikibarkan oleh Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Istana Merdeka.
Sebelum menggunakan duplikatnya, Bendera Pusaka yang asli selalu dihadirkan setiap upacara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Baca juga: Jelang HUT RI, Bendera Raksasa Dibentangkan di Waduk Gondang Lamongan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, Bendera Pusaka adalah bendera kebangsaan yang digunakan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bendera Merah Putih inilah yang dijahit sendiri oleh Ibu Negara Fatmawati dan dikibarkan pertama kali oleh Suhud dan Latief Hendraningrat.
Baca juga: Bersejarah, Pertama Kali Bendera Pusaka Diarak dari Monas ke IKN
Bendera Pusaka yang asli selalu dikibarkan setiap peringatan Hari Kemerdekaan dan terakhir dikibarkan di depan Istana Merdeka pada 17 Agustus 1968.
Karena kondisinya yang semakin rapuh, maka sejak tahun 1969 Bendera Pusaka tidak lagi dikibarkan dan digantikan oleh duplikatnya.
Salah satu kisah menarik dari sejarah Bendera Pusaka adalah fakta bahwa ternyata bendera Merah Putih ini sempat dirobek menjadi dua bagian.
Kisah ini terjadi saat Ibu Kota RI berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946.
Kala itu, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta menjalankan tugas pemerintahan di Istana Negara Gedung Agung di Yogyakarta.
Namun kemudian terjadi Agresi Militer Belanda II. Tepatnya pada tanggal 19 Desember 1948, pemerintahan di Yogyakarta harus jatuh ke tangan Belanda.
Pemimpin Indonesia saat itu, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta ditangkap oleh Belanda, begitu juga dengan tokoh penting lainnya seperti Sutan Syahrir, Agus Salim, Mohammad Roem dan AG Pringgodigdo.
Sesaat sebelum ditangkap dan diasingkan, Presiden Soekarno sempat berusaha menyelamatkan Bendera Pusaka dengan menyerahkannya kepada seorang ajudan yang bernama Husein Mutahar.
"Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi, untuk menjaga Bendera kita dengan nyawamu, ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh," kata Soekarno kepada Husein Mutahar seperti yang tertulis dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakjat Indonesia karangan Cindy Adams.
"Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya sendiri kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andai kata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera pusaka ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya," lanjut Soekarno.
Sejak saat itu,tanggung jawab besar Husein Mutahar pada saat itu adalah untuk membawa dan menjaga Bendera Pusaka agar tidak dirampas oleh Belanda.
Dalam buku Husein Mutahar, Pengabdian dan Karyanya, diceritakan bahwa Mutahar sempat terdiam sejenak saat sadar tanggung jawabnya sangat besar yakni menjaga Bendera Pusaka.
Oleh Mutahar, Bendera Pusaka sebetulnya tidak benar-benar dirobek, namun hanya dipisahkan menjadi dua bagian.
Ia hanya berpikir bagaimana cara agar Belanda tidak menyita Bendera Pusaka yang berwarna merah putih itu.
Dalam benak Mutahar, kain bendera yang dipisahkan nantinya tidak terlihat seperti bendera, melainkan hanya dua carik kain merah dan putih.
Pemisahan Bendera Pusaka dilakukan Mutahar dibantu oleh Ibu Perna Dinata, dengan cara mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih.
Selanjutnya, kedua carik kain itu diselipkan dalam dua tas terpisah bersama seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya yang dijejalkan di atasnya.
Kendati Mutahar sempat ditahan dan ditawan, namun dua helai kain merah dan putih yang merupakan Bendera Pusaka tersebut tetap tersimpan dengan aman.
Hingga pada akhirnya, Husein Mutahar berhasil melarikan diri dari Semarang menuju Jakarta dengan kapal laut.
Pada pertengahan Juni 1949, ketika berada dalam pengasingan di Muntok, Bangka, Presiden Soekarno berhasil mengirimkan pesan rahasia kepada Husein Mutahar.
Isi pesan tersebut adalah agar Mutahar menjahit kembali potongan Bendera Pusaka dan mengirimkannya kepada Presiden Soekarno di Bangka melalui Soedjono sebagai perantara.
Soedjono kemudian meminjam sebuah mesin jahit dan Mutahar kembali menyatukan dua kain yang ia simpan dengan menjahit tepat di lubang bekas jahitan aslinya.
Namun akibat sedikit kesalahan jahit dari ujung bendera, ukuran Bendera Pusaka berubah sekitar dua sentimeter dari ukuran awalnya.
Setelah dijahit dan diserahkan kepada Soejono, Bendera Pusaka kemudian dibungkus dengan kertas koran untuk dibawa kepada Presiden Soekarno di Bangka.
Tidak lama berselang, pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno bersama Bendera Pusaka akhirnya dapat tiba dengan selamat di Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta.
Bendera Pusaka pun dapat kembali dikibarkan di halaman depan Istana Negara Gedung Agung pada peringatan Hari Kemerdekaan RI di tanggal 17 Agustus 1949.
Pasca penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, Ibu kota RI dikembalikan ke Jakarta.
Pada tanggal 28 Desember 1949, bendera pusaka yang disimpan di dalam sebuah peti berukir diangkut dengan pesawat Garuda Indonesia Airways untuk diterbangkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
Di tahun berikutnya, untuk pertama kalinya setelah Proklamasi, Bendera Pusaka kembali dikibarkan di Jakarta pada peringatan detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1950.
Sumber:
antaranews.com
peraturan.bpk.go.id
kebudayaan.kemdikbud.go.id
kompas.com (Rachmawati, Wahyuni Sahara)