Riko pun mengajak Kompas.com menujupengelolaan maggot milik komunitas 'Gambira Mukti'.
Melewati persawahan, ada satu bangunan terbuat dari galvalum. Di depannya terdapat ruangan kecil yang di dalamnya ada lalat BSF (black solider Fly) atau lalat tentara hitam.
Setelah dibuka, terdapat wadah tempat maggot berkembang biak.
"Sudah punya lahan mandiri milik orang tua salah satu anggota, kita sewa lahan," kata dia.
"Tapi sewanya sekarang belum, nanti kalau sudah menghasilkan baru dibayar," ucap Riko.
Menggunakan sarung tangan warna biru, Riko menunjukkan maggot yang masih telur, sedang, hingga siap jual. Maggot bergerak disekitar tumpukan sampah organik itu.
"Kalau tidak ada yang menunggu pembeli langsung ke sini, dan meninggalkan uangnya. Seperti kantin kejujuran gitu," kata dia.
Baca juga: Sampah Tak Berkesudahaan di Kota Yogya, Lagi-lagi TPA Piyungan Jadi Tumpuan
Adapun komunitas ini mampu menghasilkan 1 kwintal maggot 2 pekan sekali. Untuk penghasilan maggot sekitar Rp 2 juta perbulannya. Meski diakuinya, saat ini maggot hanya diberi pakan dari sisa sampah warga yang berjumlah 2 ton sampah organik perbulannya.
Adapun sampah anorganik hampir sama. Sampah plastik hingga besi dipilah. Sampah anorganik juga dimanfaatkan untuk membuat lampion saat lomba takbir keliling.
"Untuk jelantah sekitar Rp1 juta perbulannya," kata dia.
"Hasil pengolahan sampah kita bikinkan kas dusun untuk kegiatan-kegiatan seperti tirakatan 17 Agustus hingga bazar," ucap dia.
Riko dan teman-temannya memiliki mimpi semakin memperbesar pengelolaan sampah. Harapannya sampah selesai di Padukuhan sepenuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.