YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Sejumlah tulisan larangan membuang sampah sembarangan ditempel di sepanjang jalan Padukuhan Priyan, Kalurahan Trirenggo, Kapanewon Bantul, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Jalanan selebar tiga meter ini bukan sekadar jalan kampung biasa.
Di sana ada tempat penampungan sampah anorganik yang bakal diolah menjadi Maggot dan produk bernilai lainnya. Namanya Badan Usaha Padukuhan Priyan Gambira Mukti.
Berbagai jenis sampah dikumpulkan di sana. Ada kertas, kardus, botos kaca, jeriken, dan paling banyak botol minuman plastik.
Berkarung-karung sampah ditata di sudut ruangan. Sama seperti tempat penampungan sampah pada umumnya.
Baca juga: Korupsi Lahan Sampah, Mantan Asisten I Pemkot Makassar Divonis 9 Tahun Penjara
Saat Kompas.com berkunjung ke sana Kamis (27/6/2024) pagi, pemuda bernama Riko Dwiyanto (27) dengan ramah menyambut. Dia adalah humas Gambira Mukti.
Dalam perjalanan ke rumahnya yang tak jauh dari lokasi penampungan sampah anorganik, Riko bercerita. Pengolahan sampah di lingkungan tempat tinggalnya bermula saat Pandemi Covid-19.
Pandemi Covid 19 menyulut kreativitas anak muda yang tergabung dalam karang taruna Tunas Muda Padukuhan Priyan untuk mengadakan lomba kebersihan antar RT.
Tanpa disangka, hal itu memberi dampak bagi pengolahan sampah di Padukuhan yang terletak di kota Bantul ini.
"Saat itu mengundang DLH Bantul sebagai juri," kata Riko.
Dia ingat betul, masing-masing RT memiliki program terkait lingkungan hidup. Ada yang membuat bank sampah, kompos, mengolah sampah jadi ecobrik, dan ada juga yang membuat lilin dari minyak jelantah atau minyak bekas pakai.
Melihat antusiasme warga, DLH Bantul melirik Priyan jadi program kampung iklim KLHK tahun 2022.
Saat itu, Padukuhan Priyan mendapat nilai 85 termasuk dalam kategori proklim madya atau menengah lalu verifikasi secara online dari KLHK dan ternyata terpilih secara offline.
"Setelah verifikasi itu, Priyan menjadi kampung pro iklim tingkat utama pada bulan September 2023," ucap Riko.
Akhirnya ide dari karangtaruna dan warga bergerak. Mereka memilih bagian yang belum dikelola, Salah satunya mengelola sampah dari warga.
"Karangtaruna membentuk komunitas untuk mengkoordinir kelompok-kelompok di Pedukuhan bernama Gambira Mukti bulan Oktober 2023," kata dia.
Arti Gambira Mukti, kata Riko, bersungguh-sungguh. Dalam artian ingin mengedepankan hidup yang mulia.
"Dalam hal ini mengelola lingkungan di tempat tinggal kami," ungkap pemuda berkacamata ini.
Anggota karangtaruna sekitar 150 orang. Namun yang aktif di Gambira Mukti hanya 10 orang.
"Kita mencari orang yang konsisten. Kebanyakan usia di bawah 25 tahun," kata dia.
"Gambira Mukti mengelola sampah organik dan anorganik, tapi tahun 2024 fokus di organik dengan cara mengurai sampah organik menjadi maggot," ucap Riko.
Baca juga: 923 Ton Sampah Menumpuk di Sleman, Pemda DIY Turun Tangan
Pemuda lulusan Fakultas Dakwah ini menceritakan, awalnya di wilayah Padukuhan Priyan terdapat bank sampah, tetapi berhenti. Dirinya bersama komunitas mencoba mempelajari penyebab mandeknya bank sampah.
"Setelah dilakukan riset ternyata di bank sampah ketika warga mau setor sampah, pengurusnya nggak ada," kata dia.
Riko mengatakan, komunitas Gambira mukti lalu mengambil sampah dari rumah warga. Namun sebelumnya warga sudah diedukasi mengenai pemilahan sampah.
Warga diberikan empat karung untuk mengurai sampah mulai sampah plastik, besi, botol, hingga sampah kertas.
Lalu komunitas ini mengembangkan maggot, juga menampung sampah organik. Mereka membagikan ember, yang diambil seminggu sekali.
Saat ini, dari 500-an kepala keluarga yang ada di Padukuhan Priyan, sudah ada 125 Kepala Keluarga yang mengikuti program ini dari yang awalnya hanya 80-an KK.
Riko berkata, bertambahnya jumlah KK yang mengikuti program ini karena pengambilan sampah di lingkungan tempat tinggalnya sering macet akibat penutupan TPA Piyungan.
Cara unik yang dilakukan untuk meyakinkan masyarakat agar bisa mengelola sampah mandiri dengan memberikan kemudahan dan juga meyakinkan sedekah tidak hanya uang tetapi juga bisa sampah.
"Tapi kami sosialisasikan kalau ini sedekah, karena sedekah itu bukan hanya uang tapi bisa dalam bentuk sampah. Selain itu mereka tidak perlu bayar iuran sampah yang Rp 35-50 ribu perbulan," kata dia.
Riko pun mengajak Kompas.com menujupengelolaan maggot milik komunitas 'Gambira Mukti'.
Melewati persawahan, ada satu bangunan terbuat dari galvalum. Di depannya terdapat ruangan kecil yang di dalamnya ada lalat BSF (black solider Fly) atau lalat tentara hitam.
Setelah dibuka, terdapat wadah tempat maggot berkembang biak.
"Sudah punya lahan mandiri milik orang tua salah satu anggota, kita sewa lahan," kata dia.
"Tapi sewanya sekarang belum, nanti kalau sudah menghasilkan baru dibayar," ucap Riko.
Menggunakan sarung tangan warna biru, Riko menunjukkan maggot yang masih telur, sedang, hingga siap jual. Maggot bergerak disekitar tumpukan sampah organik itu.
"Kalau tidak ada yang menunggu pembeli langsung ke sini, dan meninggalkan uangnya. Seperti kantin kejujuran gitu," kata dia.
Baca juga: Sampah Tak Berkesudahaan di Kota Yogya, Lagi-lagi TPA Piyungan Jadi Tumpuan
Adapun komunitas ini mampu menghasilkan 1 kwintal maggot 2 pekan sekali. Untuk penghasilan maggot sekitar Rp 2 juta perbulannya. Meski diakuinya, saat ini maggot hanya diberi pakan dari sisa sampah warga yang berjumlah 2 ton sampah organik perbulannya.
Adapun sampah anorganik hampir sama. Sampah plastik hingga besi dipilah. Sampah anorganik juga dimanfaatkan untuk membuat lampion saat lomba takbir keliling.
"Untuk jelantah sekitar Rp1 juta perbulannya," kata dia.
"Hasil pengolahan sampah kita bikinkan kas dusun untuk kegiatan-kegiatan seperti tirakatan 17 Agustus hingga bazar," ucap dia.
Riko dan teman-temannya memiliki mimpi semakin memperbesar pengelolaan sampah. Harapannya sampah selesai di Padukuhan sepenuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.