YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sleman mencatat telah terjadi kasus Leptospirosis sebanyak 20 kasus hingga 22 Mei 2024. Kasus tersebut terjadi di empat kapanewon di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Sampai pekan ke-22 atau Mei 2024, di Kabupaten Sleman telah terjadi kasus Leptospirosis sebanyak 20 kasus dengan suspek sebanyak 21," ujar Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Khamidah Yuliati dalam keterangan tertulis, Rabu (12/6/2024).
Kasus Leptospirosis tersebut rata-rata ditemukan di Kapanewon Moyudan, Kapanewon Seyegan, Kapanewon Cangkringan, dan Kapanewon Prambanan.
Baca juga: Penyebab Leptospirosis dan Cara Mencegahnya
Berdasar data Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman di masing-masing kapanewon terdapat 3 kasus leptospirosis. Sedangkan kematian sebanyak 3 kasus.
Sebanyak 3 kasus kematian tersebut terjadi di wilayah Kapanewon Gamping, Kapanewon Berbah, dan Kapanewon Prambanan.
Khamidah mengatakan, masa inkubasi dari leptospirosis sekitar 7-13 hari dengan rata-rata 10 hari. Di mana, leptospirosis mempunyai dua fase penyakit khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.
"Gejala awal fase leptospiremia secara umum berupa sakit kepala, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pinggang. Fase ini berlangsung sekitar 4 sampai 7 hari," ungkapnya.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Leptospirosis, dari Gejala hingga Pencegahannya
Baca juga: Hati-hati, Ini 6 Gejala Leptospirosis hingga Penyebabnya
Dijelaskan Khamidah, fase imun ditandai dengan demam yang mencapai suhu 40 derajat Celsius disertai menggigil dan kelemahan umum.
Lebih lanjut, pada fase ini juga dapat terjadi perdarahan, gejala kerusakan ginjal dan hati, serta uremia dan ikterik.
Pengobatan yang diberikan kepada penderita leptospirosis bisa efektif apabila dilakukan dengan cepat.
"Bagi masyarakat yang mengalami gejala demam, sakit kepala, nyeri otot betis atau paha silakan segera periksa di Puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat," tegasnya.
Baca juga: 6 Warga Semarang Meninggal karena Penyakit Leptospirosis, Ini Gejalanya
Khamidah menyampaikan, tindakan pencegahan merupakan hal utama yang harus dilakukan untuk mengantisipasi penyakit tersebut.
Pengendalian vektor pembawa leptospirosis dapat dilakukan masyarakat dengan membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain dengan menerapkan hidup bersih dan sehat, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, membasmi tikus.
Setelah beraktivitas selalu mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir.
Selain itu, juga membersihkan dengan disinfektan benda-benda yang terindikasi terkena kencing tikus, menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus secara tertutup, dan menggunakan alat pelindung diri saat berkontak dengan hewan atau lingkungan yang berisiko tinggi seperti menggunakan sepatu boot, sarung tangan, dan masker.
"Kami mengajak masyarakat membudayakan PHBS mulai dari keluarga terutama untuk mengendalikan tikus di rumah. Makanan atau sumber air yang tercemar urine tikus berisiko menjadi penularan leptospirosis," ucapnya.
Baca juga: Demam Berdarah di Demak Mengkhawatirkan, Pasien di RSUD Sunan Kalijaga Terus Meningkat
Seperti diketahui, leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang menyerang manusia dan hewan.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri leptospira yang terkandung dalam urine hewan utamanya tikus.
Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit (yang terdapat luka) atau selaput lender.
Kemudian bakteri tersebut memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Pada jenis yang ringan, leptospirosis dapat muncul seperti influenza dengan sakit kepala dan myalgia atau nyeri otot.
Baca juga: Penjelasan Dinkes Solo soal Warga Meninggal Disebut karena Leptospirosis
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.