"Nah, jika kader partai terlalu sibuk di organisasi dan tidak terlalu terlibat di dalam aktivitas sosial politik, nah itu mereka tidak akan terekspos sebagai tokoh pemimpin potensial di daerah. Nah, itu saya pikir penting juga untuk diperhatikan bagi partai," tandasnya.
Baca juga: Mengenal Parliamentary Threshold, Syarat Partai Politik Bisa Masuk Parlemen
Arya mengatakan, di dalam politik pencalonan, partai juga tidak semata-mata mencalonkan secara gratis. Meskipun bukan kader, para tokoh atau bakal calon kepala daerah itu selalu menyerahkan atau diminta untuk memberikan yang mereka sebut dengan mahar atau ongkos pencalonan. Logiknya memang untuk mesin partai, organisasi partai, dan seterusnya.
"Nah, itu yang kemudian, meskipun mereka mencalonkan kandidat kepala daerah di luar kader partai di kabupaten, kota maupun provinsi itu ada insentif logistik, meskipun mereka tidak mendapat insentif elektoral. Itu kemudian yang menjelaskan kenapa partai lebih suka dengan kandidat yang berpotensi menang dengan mekanisme menjaring calon kepala daerah itu," urainya.
Diungkapkan dia, biasanya jika dari internal partai, yang diusung adalah kader yang statusnya sebagai incumbent atau petahana.
"Jadi biasanya yang sudah jadi bupati, terus mau maju lagi, biasanya mereka terus menjadi anggota partai dan menjadi pimpinan partai di daerah. Sehingga otomatis di dalam pencalonan disebut sebagai kader partai itu," ucapnya.
Namun jika bukan incumbent imbuh dia, biasanya tokoh populer atau bahkan tokoh dengan logistik yang melimpah.
"Jika dia bukan incumbent biasanya tokoh populer atau tokoh dengan logistik yang melimpah," pungkasnya.
Baca juga: Larangan-larangan Partai Politik
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.