Sejak tahun 1950 Jamu Ginggang menetap di Jalan Masjid, Pakualaman, Kota Yogyakarta. Setelah Mbah Benawa meninggal, Jamu Ginggang diteruskan kepada generasi keempat. Kemudian dari generasi keempat diteruskan ke generasi kelima, yang satu di antaranya adalah Yayuk.
Kedai Jamu Ginggang saat ini masih mempertahankan suasana kuno. Ada ubin berwarna merah mengkilap. Namun beberapa ubin warnanya tampak mulai memudar. Sementara itu ada ubin pecah di permukaannya menambah nuansa kuno.
Mebel-mebel seperti meja, kursi, dan rak juga masih menggunakan desain dari era 1950. Jam dinding kuno juga tampak tergantung.
Selain nuansa kuno kedai, cara mengolah jamu secara tradisional juga masih dipertahankan sampai sekarang. Dia juga mempertahankan resep tradisional Jamu Ginggang yang tidak menggunakan bahan pengawet dan pemanis buatan. Sehingga jamu diracik dari bahan-bahan alami.
Baca juga: Mengintip Babah Kuya, Toko Jamu Legendaris di Bandung, Berdiri Sejak 1838
“Sempat tanya ke pelanggan dan ahli, ternyata tidak dibolehkan renovasi katanya biar tetap kuno,” ucapnya.
Sejak pagi hari, pegawai yang berjumlah enam orang sudah siap untuk mengolah jamu. Bahan-bahan jamu ditumbuk dengan menggunakan alas batu dan kayu panjang.
Proses lainnya yakni Mipis yakni menghaluskan bahan-bahan jamu dengan digiling menggunakan batu yang berbentuk silinder. Karyawannya yang duduk di lantai menggiling bahan-bahan jamu seperti menipiskan adonan donat.
Proses ini dimulai sejak pagi hari. Sehingga saat siang, jamu pun sudah siap diracik sesuai dengan pesanan pelanggan.
Pelanggan pada era modern kali ini kebanyakan usia produktif yang sering mengeluhkan pegal-pegal. Mereka memesan jamu untuk mengurangi pegal yang dirasakan setelah seharian bekerja.
Untuk mempertahankan pelanggan, Jamu Ginggang jarang menaikkan harga. Butuh waktu untuk memutuskan kenaikan harga menurut Yayuk.
Baca juga: 8 Jenis Jamu Gendong Lengkap dengan Bahan, Manfaat, dan Filosofi
Era milenial tak menyurutkan eksistensi dari Jamu Ginggang. Seperti saat ini pelanggan masih setia menikmati jamu asli Ginggang ini.
Pelanggan Jamu Ginggang berasal dari berbagai kalangan dan daerah. Bahkan pada tahun 1980an Jamu Ginggang pernah mendapatkan pesanan ratusan bungkus untuk dikirim ke Jepang.
“Tahun 1980an itu dapat pesanan ratusan bungkus dari Jepang, saat itu dikirim ke Jepang ternyata banyak yang suka di sana,” kata Yayuk.
Eksisnya Jamu Ginggang masih membawa berkah bagi keluarga Yayuk. Dalam satu bulan, Jamu Ginggang dapat meraup omzet Rp 10 juta.
Selain mempertahankan mempertahankan resep Jamu Ginggang, Yayuk tetap melakukan inovasi.
Sekarang ini Yayuk sedang mencoba untuk membuat lulur yang berasal dari sisa bahan jamu yang tidak terpakai. Menurut dia inovasi seperti ini perlu dilakukan untuk menjaga Jamu Ginggang tetap eksis.
Baca juga: Akad Nikah Kaesang-Erina, Para Tamu Bakal Disuguhi Makanan Para Raja, Minumnya Jamu
Ia berpesan kepada para wirausahawan muda agar tidak mudah putus asa dalam memulai usaha serta berani inovasi dalam membuat resep-resep baru.
“Pertahankan resep dan jangan takut untuk mencoba resep-resep baru,” ucap dia.
“Jamu Ginggang yang asli itu milik lima bersaudara, Prayogo, Karsono, Dasiah, Dasinah (ibunya), Rubini,” tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.