Salin Artikel

Kisah Jamu Ginggang, Kuliner Legendaris Peninggalan Pakualam VII, Eksis hingga Generasi Kelima

Perempuan lulusan D3 ini sejak kecil dididik dengan disiplin oleh keluarga besarnya, terutama soal produksi jamu tradisional.

Sejak duduk di bangku SD hingga kuliah, Yayuk selalu diminta untuk membantu produksi Jamu Ginggang. Dia ditugasi pada bagian menghaluskan bahan-bahan jamu seperti kunyit, kencur, dan lainnya.

Aktivitas itu membuat Yayuk jatuh cinta kepada jamu. Ditambah lagi jamu adalah salah satu warisan leluhurnya.

Dia menceritakan, resep Jamu Ginggang didapat dari leluhurnya yang merupakan abdi dalem Keraton Pura Pakualaman. Kala itu leluhur Yayuk yakni Mbah Jaya mendapatkan mandat dari Sri Paduka Pakualam ke VII untuk menjadi tabib di lingkungan Pakualaman.

Resep-resep jamu Ginggang didapat langsung dari Sri Paduka Pakualam VII. Kepercayaan yang didapat itu tak disia-siakan oleh leluhur Yayuk.

Resep yang didapat ini lalu diracik oleh Mbah Jaya kala itu. Saat mencobanya, Sri Paduka Pakualam ke VII merasakan manfaatnya. Sejak saat itu Mbah Jaya dijadikan tabib kerajaan.

“Karena keakraban Mbah Jaya dan Sri Paduka Pakualam ke VII Mbah Jaya diberi julukan Tan Genggang atau Tansah Genggang. Kalau diartikan ke Bahasa Indonesia berarti hubungan yang abadi,” ujar dia saat ditemui Kompas.com Selasa (14/8/2023).

Jadi usaha kuliner

Yayuk menjelaskan, usaha kuliner jamu tersebut dimulai pada 1925. Hal ini karena jamu tersebut bisa diandalkan untuk kesehatan. 

“Hasil racikannya cukup bisa diandalkan bisa ada efeknya bagus untuk kesehatan di Keraton Pakualam,” ucap dia.

Setelah beberapa tahun kemudian Mbah Jaya meninggal dunia dan diteruskan oleh adiknya yang bernama Mbah Belawa. Mbah Belawa ini juga tabib dari Pakualam ke VII.

Diminatinya Jamu Ginggang tak lepas dari peran Mbah Kasidah. Pasalnya, selain membuka tempat berjualan, Mbah Kasidah juga menjajakan jamu tersebut berkeliling ke pasar gede atau Pasar Beringharjo.

Selain itu, terkenalnya Jamu Ginggang pada tahun 1970 ini juga karena kasiatnya yang dirasakan oleh para peminumnya. Misalnya saja pegal linu, pelanggan yang meminum jamu tersebut akan merasakan sakitnya berkurang. 

Harga jamu juga dinilai murah oleh masyarakat kala itu. Bahkan memiliki cita rasa yang enak.

Mempertahankan eksistensi

Sejak tahun 1950 Jamu Ginggang menetap di Jalan Masjid, Pakualaman, Kota Yogyakarta. Setelah Mbah Benawa meninggal, Jamu Ginggang diteruskan kepada generasi keempat. Kemudian dari generasi keempat diteruskan ke generasi kelima, yang satu di antaranya adalah Yayuk. 

Kedai Jamu Ginggang saat ini masih mempertahankan suasana kuno. Ada ubin berwarna merah mengkilap. Namun beberapa ubin warnanya tampak mulai memudar. Sementara itu ada ubin pecah di permukaannya menambah nuansa kuno.

Mebel-mebel seperti meja, kursi, dan rak juga masih menggunakan desain dari era 1950. Jam dinding kuno juga tampak tergantung.

Selain nuansa kuno kedai, cara mengolah jamu secara tradisional juga masih dipertahankan sampai sekarang. Dia juga mempertahankan resep tradisional Jamu Ginggang yang tidak menggunakan bahan pengawet dan pemanis buatan. Sehingga jamu diracik dari bahan-bahan alami.

“Sempat tanya ke pelanggan dan ahli, ternyata tidak dibolehkan renovasi katanya biar tetap kuno,” ucapnya.

Sejak pagi hari, pegawai yang berjumlah enam orang sudah siap untuk mengolah jamu. Bahan-bahan jamu ditumbuk dengan menggunakan alas batu dan kayu panjang.

Proses lainnya yakni Mipis yakni menghaluskan bahan-bahan jamu dengan digiling menggunakan batu yang berbentuk silinder. Karyawannya yang duduk di lantai menggiling bahan-bahan jamu seperti menipiskan adonan donat.

Proses ini dimulai sejak pagi hari. Sehingga saat siang, jamu pun sudah siap diracik sesuai dengan pesanan pelanggan.

Pelanggan pada era modern kali ini kebanyakan usia produktif yang sering mengeluhkan pegal-pegal. Mereka memesan jamu untuk mengurangi pegal yang dirasakan setelah seharian bekerja.

Untuk mempertahankan pelanggan, Jamu Ginggang jarang menaikkan harga. Butuh waktu untuk memutuskan kenaikan harga menurut Yayuk.

Era milenial tak menyurutkan eksistensi dari Jamu Ginggang. Seperti saat ini pelanggan masih setia menikmati jamu asli Ginggang ini.

Pelanggan Jamu Ginggang berasal dari berbagai kalangan dan daerah. Bahkan pada tahun 1980an Jamu Ginggang pernah mendapatkan pesanan ratusan bungkus untuk dikirim ke Jepang.

“Tahun 1980an itu dapat pesanan ratusan bungkus dari Jepang, saat itu dikirim ke Jepang ternyata banyak yang suka di sana,” kata Yayuk.

Eksisnya Jamu Ginggang masih membawa berkah bagi keluarga Yayuk. Dalam satu bulan, Jamu Ginggang dapat meraup omzet Rp 10 juta.

Tetap berinovasi

Selain mempertahankan mempertahankan resep Jamu Ginggang, Yayuk tetap melakukan inovasi. 

Sekarang ini Yayuk sedang mencoba untuk membuat lulur yang berasal dari sisa bahan jamu yang tidak terpakai. Menurut dia inovasi seperti ini perlu dilakukan untuk menjaga Jamu Ginggang tetap eksis.

Ia berpesan kepada para wirausahawan muda agar tidak mudah putus asa dalam memulai  usaha serta berani inovasi dalam membuat resep-resep baru.

“Pertahankan resep dan jangan takut untuk mencoba resep-resep baru,” ucap dia.

“Jamu Ginggang yang asli itu milik lima bersaudara, Prayogo, Karsono, Dasiah, Dasinah (ibunya), Rubini,” tutupnya.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/08/25/094516978/kisah-jamu-ginggang-kuliner-legendaris-peninggalan-pakualam-vii-eksis

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com